mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Rabu, 29 Agustus 2018

Khutbah Jum’at Dengan Selain Bahasa Arab

KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB
Oleh : Ahmad Faruq


1.      Khutbah Jum’at Dengan Selain Bahasa Arab
Pada prinsipnya, rukun-rukun khutbah jum’at ini disyaratkan harus disampaikan dengan bahasa arab walaupun para jamaah yang hadir tidak memahaminya.
أَنْ تُتْلَى أَرْكَانُ الخُطْبَةِ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ. عَلَى الخَطِيبِ أنْ يَخْطُبَ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ وَإنْ لَم يَفْهَمْهَا الحَاضِرُونَ.
Hendaknya rukun-rukun khutbah itu dibaca dengan bahasa Arab. Wajib bagi khotib untuk berkhutbah dengan bahasa Arab meskipun jamaah yang hadir tidak memahaminya. [1]
وَكَوْنُهُمَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِنْ كَانَ الْكُلُّ أَعْجَمِيِّيْنَ لإِتْبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الأًرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ سم: يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ.
Kedua Khutbah harus disampaikan dengan bahasa, meskipun seluruh jamaah yang hadir adalah ‘ajami (bukan orang arab) Karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. (Peryataan dengan bahasa arab) maksudnya adalah rukun-rukun khutbah dan bukan yang lain. Asy Syabromalisi berkata: Hal ini berarti bahwa di luar rukun Khutbah, yakni hal-hal yang berkaitan dengan khutbah yang disampaikan tidak dengan bahasa Arab, tidak bisa dianggap menjadi penghalang muwalah (ketersambungan  diantara rukun-rukun khutbah).[2]
لَوْ كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرَّ قاَلَ م ر مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ لإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طَالَ بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش
Seandainya antara rukun-rukun khutbah menggunakan selain bahasa Arab, maka boleh (Imam Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak ketersambungan khutbah, sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain bahasa arab mengandung nasehat sehingga  tidak keluar dari pengertiannya sebagai khutbah.[3]
 Dari beberapa keterangan tersebut dapat dipahami bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun-rukun khutbah jum’at harus disampaikan dengan bahasa arab, sehingga apabila disampaikan dengan selain bahasa arab (bahasa masyarakat setempat) dianggap tidak sah selama khotib mampu berbahasa Arab, karena khutbah yang disampaikan dengan selain bahasa arab dinilai sebagai laghwun (gurauan yang tidak mempunyai nilai).
Sedangkan “selain rukun khutbah”, ulama syafi’iyah menganggap boleh disampaikan dengan selain bahasa Arab selama pemisahan tersebut tidak panjang sehingga bisa memutus ketersambungan antara rukun-rukun khutbah (qoth’ul muwaalah) dan harus tetap pada prinsip mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah.
Karena praktek menerjemahkan rukun-rukun khutbah sudah menjadi kebiasaan di lingkungan masyarakat dan sudah menjadi tradisi baru yang sulit dihilangkan. Padahal hal tersebut tanpa disadari bisa mempengaruhi keabsahan shalat jum’at. Oleh karena itu penulis menghimbau, sebaiknya hal ini menjadi perhatian yang serius bagi para khotib agar lebih memahami bahwa larangan untuk menerjemahkan rukun-rukun khutbah bukanlah hal yang menyimpang. Melainkan justru yang sesuai dengan hadits nabi dan kitab-kitab salaf madzhab syafi’iyah. Sehingga apabila seorang khotib menerjemahkan rukun khutbah dengan alasan agar para jamaah yang hadir bisa memahami rukun-rukun khutbah, maka hal tersebut bukan merupakan alasan yang tepat bahkan justru menyalahi aturan yang ada. Karena pada prinsipnya rukun-rukun khutbah seharusnya di sampaikan dengan menggunakan bahasa arab walaupun jamaah yang hadir tidak memahaminya.
Atau terkadang beberapa orang menerjemahkan rukun-rukun khutbah beralasan karena mengikuti madzhab selain Imam Syafi’i sedangkan shalat jum’atnya tetap mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Maka hal tersebut justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu pencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq) dalam satu ibadah, yaitu khutbah dengan mengikuti madzhab lain dan shalat jum’at mengikuti madzhab imam syafi’i. Dalam hal ini penulis menghimbau hendaknya para khotib mempelajari dan memahami tentang tatacara berpindah madzhab, hukum-hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga tidak terjebak dengan praktek ibadah dengan mencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq) yang ada dan tidak sesuai dengan kaidah.
Menurut sebagian ulama’, solusi dari permasalahan ini adalah, sebaiknya rukun-rukun khutbah tersebut diberi tafsiran kemudian tafsiran itu diterjemahkan menggunakan bahasa setempat (bahasa yang mudah difahami oleh jamaah yang hadir), sehingga terhindar dari penerjemahan rukun-rukun khutbah yang menurut pendapat mu’tamad (bisa dipakai pedoman) dianggap tidak boleh. Tentunya tetap harus memperhatikan bahwa pemisah (tafsiran dan terjemahannya) antara rukun khutbah yang satu dengan lainnya tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh, karena dapat merusak ketersambungan rukun-rukun khutbah (Qoth’ul Muwaalah).
Namun Abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jazairi dalam kitabnya menyatakan bahwa rukun-rukun khutbah yang disyaratkan menggunakan bahasa arab tersebut berlaku apabila disampaikan kepada orang arab (bukan ‘ajam). Sehingga apabila khutbah disampaikan kepada selain orang arab, maka rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa arab.
الشافعية قالوا : يشترط أن تكون أركان الخطبتين باللغة العربية فلا يكفي غير العربية متى أمكن تعلمها فإن لم يمكن خطب بغيرها هذا إذا كان القوم عربا أما إن كانوا عجما فإنه لا يشترط أداء أركانهما بالعربية مطلقا ولو أمكنه تعلمها ما عدا الآية فإنه لا بد أن ينطق بها بالعربية : إلا إذا عجز عن ذلك فإنه يأتي بدلها بذكر أو دعاء عربي فإن عجز عن هذا أيضا فعليه أن يقف بقدر قراءة الآية ولا يترجم وأما غير أركان الخطبة فلا يشترط لها العربية بل ذلك سنة
Menurut pengikut madzhab Syafi’i: rukun khutbah disyaratkan harus dengan bahasa Arab, maka tidak cukup tanpa bahasa Arab selagi ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab. Apabila  tidak ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab maka boleh berkhutbah dengan selain bahasa Arab. Ini berlaku bagi orang Arab. Adapun khutbah yang disampaikan kepada selain orang arab (‘ajami) maka rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa arab, meskipun ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab kecuali ayat al Qur’an, karena ayat al Qur’an harus diucapkan dengan bahasa Arab. Kecuali apabila khotib tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab,  maka ia boleh menggantinya dengan peringatan/nasehat  atau atau do’a yang berbahasa Arab. Apabila khotib tidak mampu juga, maka ia harus diam kira-kita sepanjang ayat. Dan jangan menerjemahkan. Sedangkan selain rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan menggunakan bahasa arab, tetapi hukumnya sunnah.[4]


[1] Lihat : Al Fiqhul Manhaji  juz 1 hal. 206
[2] Lihat: Al-Hawasyil Madaniyah ‘ala Syarhi Bafadhal  juz 2 hal. 64
[3] Lihat : Al-Bujairimi  juz 1, hal.389
[4]  Lihat : al Fiqh ala Madzahibil Arba’ah juz 1 hal 608 Maktabah Syamilah

Mengulang Bacaan Hamdalah Ketika Membaca Khutbah

Oleh : Ahmad Faruq


1.      Mengulang Bacaan Hamdalah Ketika Membaca Khutbah
Sering kita mendengar ketika Khotib membaca khutbah, kalimat hamdalah (alhamdulillah)  diulang dua kali dalam khutbahnya, hal ini sering menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa harus diulang? dan apakah memang ada keharusan atau sunnah untuk mengulangnya? atau bahkan mengulang bacaan hamdalah termasuk perbuatan yang dilarang?
Hal ini termasuk dalam kategori mengulang-ulang salah satu rukun-rukun khutbah, yaitu membaca alhamdulillah. Mengulang bacaan alhamdulillah oleh ulama’ dianggap sah karena hal tersebut sama dengan mengulangi salah satu dari rukun-rukun khutbah dan hukumnya boleh (tidak dilarang).
وَكَذَا لاَيَضُرُّ تَكْرِيْرُ بَعْضِ اْلاَرْكاَنِ كَماَ يَقَعُ اْلاٰنَ اَيْضًا
Demikian pula boleh mengulang-ulang sebagian rukun-rukunnya sebagaimana yang terjadi sekarang ini.[1]


[1] Lihat : al-Syarqawi  juz 1 hal.  267

Dirangkul Anak Kecil ketika Shalat Jum’at

Dirangkul Anak Kecil ketika Shalat Jum’at
Oleh : Ahmad Faruq Ardianto

Di beberapa daerah, sering kita menjumpai orang pergi shalat jum’at dengan mengajak anak kecil. Mereka bertujuan untuk memberi pembelajaran terhadap anak tersebut agar terbiasa dengan amaliyah-amaliyah diniyah ataupun dengan alasan lainnya.
Namun hal ini perlu mendapat perhatian yang serius, karena didalamnya mengandung kemungkinan akan mengganggu keabsahan shalat jum’at bagi dirinya sendiri atau bahkan orang lain di sekitarnya.
Hal yang sering terjadi adalah ketika seseorang sedang mengerjakan shalat, tiba-tiba anak kecil tersebut merangkulnya dari belakang. Dalam menyikapi hal ini, yang perlu diperhatikan adalah status anak kecil tersebut dalam pandangan fiqih.
Anak kecil (laki-laki) yang belum di-khitan apabila seusai kencing, seharusnya Qulfah-nya (kuncup/kucur jw.) harus  turut serta disucikan, karena walaupun tampak tertutup, bagian dalam qulfah merupakan anggota dzohir yang wajib disucikan.[1]
(قَوْلُهُ وَمَا تَحْتَ قُلْفَةٍ) اَيْ وَحَتَّى مَا تَحْتَ قُلْفَةٍ اِلَى اَنْ قَالَ وَاِنَّمَا وَجَبَ غَسْلُهُ لأَنَّهُ ظَاهِرٌ حُكْمًا وَإِنْ لَمْ يَظْهُرْ حِسًّا لأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةُ الإِزَالَةِ
Sehingga dalam hal ini para ulama’ memerinci jawaban dari kasus tersebut sebagai berikut :
1.       Batal, apabila anak kecil tersebut membawa najis
قَوْلُهُ: (وَلَوْ حَمَلَ مُسْتَجْمَرًا بَطَلَتْ) وَكَذَا لَوْ حَمَلَ حَامِلَهُ وَكَالْحَمْلِ الْقَابِضِ عَلَى ثَوْبِهِ أَوْ يَدِهِ أَوْ عَكْسِهِ وَكَالْمُسْتَجْمَرِ كُلُّ ذِي نَجَاسَةٍ، وَلَوْ مَعْفُوًّا عَنْهَا، كَحَيَوَانٍ مُتَنَجِّسِ الْمَنْفَذِ وَصَبِيٍّ بِثَوْبِهِ، أَوْ بَدَنِهِ نَجَسٌ
Jika orang yang shalat menggendong orang  yang bersuci menggunakan selain air (peper), maka shalatnya batal. Demikian juga batal shalatnya orang yang menggendong orang yang peper. Demikian juga memegang baju atau tangannya orang yang peper seperti orang yang peper yaitu yang menanggung najis, misalnya hewan yang duburnya terkena najis dan anak kecil yang bajunya atau badannya terkena najis.[2]
2.       Boleh dan tetap sah shalatnya, apabila meyakini bahwa anak tersebut tidak terkena (membawa) najis atau tidak diketahui kenajisannya.
وَلَوْ تَعَلَّقَ بِالْمُصَلِّى صَبِىٌّ أَوْ هِرَّةٌ لَمْ يُعْلَمْ نَجَاسَةُ مُنْفَذِهِمَا لاَ تَبْطُلُ صَلاَتُهُ لأَنَّ هَذَا مِمَّا تَعَارَضَ فِيْهِ الأَصْلُ وَالْغَالِبُ إِذِ الأَصْلُ الطَّهَارَةُ وَالْغَالِبُ النَّجَاسَةُ فَيُقَدَّمُ الأَصْلُ
Apabila ada seorang anak kecil atau kucing bergantungan pada musholli (orang yang shalat) dan tidak diketahui kenajisannya maka tidak batal shalatnya karena hal ini termasuk dari sesuatu pertentangan antara hukum asal dan keumuman. Karena hukum asalnya adalah suci, sekalipun umumnya adalah najis, maka yang dahulukan adalah hukum asal.[3]

Melihat penjelasan dalil-dalil tersebut, termasuk dalam pengertian merangkul adalah mengendong, mengikat, memegang, memangku, menarik-narik baju atau tangan orang yang sedang shalat atau sebaliknya. Melihat kenyataan yang ada, jarang sekali orang memperhatikan masalah najisnya bagian dalam qulfah anak laki-laki yang belum khitan. Sehingga tradisi mengajak anak kecil yang belum khitan (atau anak perempuan dalam keadaan menanggung najis) kurang mendapat perhatian yang serius, walaupun disisi  lain hal ini merupakan sesuatu yang baik dan sebagai pembelajaran untuk anak agar lebih mengenal Islam sejak dini.
Oleh karena itu penulis menyarankan sebaiknya anak kecil yang belum khitan (atau anak perempuan dalam keadaan menanggung najis) tidak diajak ke masjid atau musholla untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Sehingga apabila tradisi mengajak anak kecil ini sulit dihindari sebaiknya anak kecil tersebut tidak diajak masuk ke dalam masjid agar terhindar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.


[1] Lihat : I’anatuth tholibin juz 1 hal. 75
[2] Lihat : Hasyiyatan ‘ala Minhaj at-Thalibin  juz 1  hal. 183
[3] Lihat : Tausyih ‘ala Ibn Qasim  hal. 53

Memegang Tongkat Ketika Berkhutbah Jum’at

Memegang Tongkat Ketika sedang Berkhutbah
Oleh: Ahmad Faruq



1.      Memegang Tongkat Ketika Berkhutbah Jum’at
Sering kita jumpai dilingkungan kita, ketika melaksanakan khutbah jum’at, seorang khotib memegang tongkat, dalam menyikapi hal ini, para ulama’ berbeda pendapat dalam menghukuminya.
Jumhur (mayoritas) ulama’ fiqih mengatakan bahwa sunnah hukumnya bagi Khotib memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا
Imam Syafi'i r.a. berkata : Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Saw. berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah Saw.  jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan.[1]
عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ
Dari Syu'aib bin Zuraiq at Tha'ifi ia berkata : Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah Saw. beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur".[2]
As Shan’ani mengomentari hadits tersebut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “Sunnahnya Khotib memegang pedang atau semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”.
وَفِى الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى اَنَّهُ يُنْدَبُ لِلْخَطِيْبِ اْلاِعْتِمَادُ عَلَى سَيْفٍ اَوْنَحْوِهِ وَقْتَ خُطْبَتِهِ
Hadits tersebut menjelaskan tentang kesunnahan khatib memegang pedang atau semisalnya (tongkat) pada waktu menyampaikan khutbahnya.[3]
فَإِذَا فَرَغَ المُؤَذِّنُ قَامَ مُقْبِلاً عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ لاَ يَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً وَيُشْغِلُ يَدَيْهِ بِقَائِمِ السَّيْفِ أَوْ العُنْزَةِ وَالمِنْبَرِ كَيْ لاَ يَعْبَثَ بِهِمَا أَوْ يَضَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الآخَرِ
Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka Khotib berdiri menghadap jama'ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya) memegang mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain.[4]
Walhasil, Khutbah dengan memegang tongkat dasar hukumnya adalah Fi’lun Nabi Saw. sebagaimana yang pendapat Imam Suyuthi :
كَانَ إِذَا خَطَبَ فِي الْحَرْبِ خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ وَإِذَا خَطَبَ فِي الْجُمْعَةِ خَطَبَ عَلَى عَصَا.
Rasulullah Saw. berkhutbah ketika perang beliau berkhutbah dengan memegang pedang, dan ketika berkhutbah untuk shalat Jum’at beliau berkhutbah dengan memegang tongkat. (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).[5]
وَأنْ يَعْتَمِدَ الخَطِيْبُ عَلَى نَحْوِ عَصَا او سَيْفٍ او قَوسٍ بِيَسَارِهِ لِلإِتِّبَاعِ, وَحِكْمَتُهُ أنَّ هَذَا الدِّيْنَ, بِالسِّلاَحِ, وَتَكُونُ يُمْنَاهُ مَشْغُولَةَ بِالمِنْبَرِ إنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ كَعَاجٍ او ذَرْكِ طَيْرٍ. فَإن لَم يَجِدْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ جَعَلَ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى تَحْتَ صَدْرِهِ.
Hendaknya khotib memegang pada seumpama tongkat atau pedang atau gendewa dengan tangan kirinya karena mengikuti ulama’ salaf, hikmahnya adalah sesungguhnya agama ini tegak dengan senjata, dan tangan kanannya disibukkan dengan memegang mimbar jika pada mimbar tersebut tidak terdapat najis seperti gading atau kotoran burung. Jika khotib tidak mendapatkan sesuatu dari hal tersebut, maka dia menjadikan tangan kanannya diatas tangan kirinya di bawah dadanya. [6]
Jadi, seorang Khotib disunnahkan memegang tongkat dengan tangan kirinya ketika berkhutbah  (bukan sekedar menyandarkannya pada dada bagian kiri) dan tangan kanannya memegang mimbar. Sehingga dianggap makruh jika tongkatnya dipegang dengan tangan kanannya, karena hal tersebut menyalahi hadits nabi tersebut. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah Saw. juga agar Khotib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah.


[1] Lihat : al-Umm  juz 1  hal 272
[2] Lihat : Sunan Abi Dawud  hal. 824
[3] Lihat : Subululus Salam  juz 2  hal 59
[4] Lihat : Ihya' 'Ulum al-Din  juz 1  hal 180
[5] Lihat : Al-Jami’us Shoghir hal. 245
[6] Lihat : Kitab al Hawasyil Madaniyah Juz 2 hal. 44