mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 28 Juli 2020


BERTAUBAT SECARA BENAR ISTIQOMAH
 Terjemah Al Minahus Saniyyah
Oleh : Ahmad Faruq Ardianto

أَوَّلُ الْوَصِيَّةِ : عَلَيْكَ أَيُّهَا الْأَخُ بِالْإِسْتِقَامَةِ فِى التَّوْبَةِ
Wasiat pertama, hendaklah saudara-saudara istiqomah dalam bertaubat
اَلتَّوْبَةُ فِى الشَّرْعِ: اَلرُّجُوْعُ عَمَّا كَانَ مَذْمُوْمًا فِى الشَّرْعِ اِلَى مَا هُوَ مَحْمُوْدٌ فِى الشَّرْعِ
Menurut bahasa, taubat artinya kembali (ar ruju’) sedangkan manurut syara’, taubat  adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan menggantinya dengan perbuatan yang terpuji. Taubat memiliki tahapan-tahapan, yaitu tahap permulaan dan tahapan puncak :
Pada tahap permulaan ini, seseorang harus :
1.      Bertaubat dari dosa-dosa besar
2.      Bertaubat dari dosa-dosa kecil
3.      Bertaubat dari perkara makruh
4.      Bertaubat dari perbuatan yang kurang baik (Khilaful aula).
5.      Bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya adalah orang baik
6.      Bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk termasuk fuqoro’ di zaman ini (kekasih Tuhan)
7.      Bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat
8.      Dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai Allah

Pada Puncaknya, seseorang harus :
1.      Bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat) kepada Allah, walaupun dalam waktu sekejap.
Menurut ulama’ muhaqqiqun dalam ilmu thoriqoh:
أَنَّ مَنْ نَدِمَ عَلَى ذَنْبِهِ وَاعْتَرَفَ بِهِ فَقَدْ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ
Sesungguhnya seseorang yang menyesal dan mengakui telah dosa-dosa yang dilakukannya, maka taubatnya sah (sudah benar taubatnya)
Karena sesungguhnya Allah SWT. tidak menceritakan kisah nabi Adam alaihis salam kecuali tentang pengakuan dan penyesalannya ketika ia terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Sedangkan sebagian ulama yang menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak mengulangi lagi merupakan pernyataan dari hasil ijtihad (istinbath), Sebab seseorang yang benar-benar menyesali perbuatannya tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan Alloh SWT (haqqulloh) akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesama manusia (haqqul adam) seperti yang berkaitan dengan harta benda dan harga diri. Untuk yang disebut terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama orang yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena taubat adalah sesuatu yang sangat mendasar. Taubat adalah dasar dari segala perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti orang yang membangun rumah megah diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah hancur. Sebaliknya siapa yang benar taubatnya berarti kuat pondasinya. Karena itu, sebagian ulama menyatakan :
مَنْ أَحْكَمَ مَقَامَ التَّوْبَةِ حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى مِنْ سَائِرِ الشَّوَائِبِ الَّتِى فِى الْأَعْمَالِ
“Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari segala yang merusak kesucian amalnya”.
Maqalah tersebut menjelaskan bahwa taubat sebanding dengan maqam zuhud  dari dunia yang akan menjaga manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya dengan Allah dzat yang haqq.
Karena itu, bila seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru akan menjatuhkan dan menghancurkan maqamnya (kedudukannya disisi Allah). Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti bangunan rumah dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen.
Muhammad ibn ‘Inan menyatakan :
من استقام فى توبته عن المعاصى ارتقى الى التوبة من كل مالا يعنى
siapa yang benar-benar beristiqomah dalam taubatnya, cara taubatnya maka itu akan bisa meningkatkan kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang tidak benar cara taubatnya, maka semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan mampu menjaga keinginan – keinginan nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu menjaga pikiran – pikiran kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan lurus. Firman-Nya.
öNÉ)tGó$$sù !$yJx. |NöÏBé& `tBur z>$s? y7yètB Ÿwur (#öqtóôÜs? 4 ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊËÈ  
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Ali al-Khawash juga menyatakan, siapa yang benar dan sungguh - sungguh melakukan taubat dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan perbuatannya menjadi baik. Karena itu, seseorang yang ingin menggapai kedudukan tinggi disisi Tuhan, hendaknya selalu meneliti dirinya, apakah ia telah melakukan hukum – hukum Tuhan? Apakah anggota badannya; mata, kaki, tangan dan lisannya telah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan Allah? Bila mendapati dirinya telah melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila mendapati dirinya masih berlumuran dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan menyesalinya,  kemudian bersyukur kepada Allah bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan Allah belum memberikan adzab atau penyakit. Sebab, badan yang melakukan maksiat berhak menerima siksaaan. Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus meninggalkan pengaruh dunia. Allah swt sendiri tidak pernah memperhatikan dunia sejak penciptaannya, karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,
“Cinta harta dan kedudukan mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana air mudah menumbuhkan sayur-sayuran”.
Imam al-Tsaury menyatakan, seandainya seseorang beribadah dengan menjalankan semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta pada dunia, maka di akherat kelak akan di umumkan,“Inilah fulan yang sewaktu di dunia mencintai sesuatu yang tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman itu, wajahnya seakan terkelupas saking malunya.
Yang dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan sarana harta dunia secara berlebihan, melebihi ketentuan syariat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin pernah menyatakan, seandainya kalian mensucikan seseorang sehingga menjadikannya sebagai al-shiddiq, tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik cinta dunia, maka Allah tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan disisi Tuhan. Bagaimana jika harta yang ada tersebut dipersiapkan untuk memberi nafkah pada keluarga dan familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan ahli tarikat rusak adalah karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah terhadap keluarga dan famili, sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi, hati yang telah kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia dengan Tuhan.
Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili menyatakan, seorang murid (orang yang menempuh jalan Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala belum benar-benar mencintai Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya selama ia belum bisa meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung seberapa besar seseorang mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus meninggalkan dan mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk tarikat, yaitu ketika berbaiat kepada guru pembimbing (mursyid), seseorang harus benar-benar telah mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu jika dalam hatinya masih bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar. Karena itu, dalam tarikat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada murid haruslah sikap zuhud. Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa membangun sesuatu di akherat. Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa yang menghendaki akherat, ia harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah, ia harus zuhud akherat. Siapa yang dalam hatinya masih ada cinta dunia; kedudukan, perkawinan, pakaian, makanan dan sebagainya, ia bukanlah pecinta akherat. Ia masih mengikuti nafsunya”.
Sejalan dengan itu, Abu Abdullah al-Maghribi menyatakan, orang fakir yang tidak banyak melakukan amal masih lebih baik daripada ahli ibadah tetapi bergelimang harta. Amal yang sedikit dari orang fakir yang tidak tersibukkan dunia bahkan lebih baik daripada amal yang menggunung dari seseorang yang hatinya sibuk memikirkan dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan, ibadah yang disertai cinta dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan banyak padahal sedikit. Ia hanya tampak banyak menurut orang yang melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagai raga tanpa nyawa, kosong tanpa isi. Karena itu, banyak kita saksikan orang yang berpuasa, shalat malam dan haji, tetapi tidak pernah merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud dalam hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud adalah mengosongkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia. Namun, hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan tangannya dari menguasai harta. Sebab, Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah melarang umatnya melakukan transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, sebagian sahabat dan tabiin memang banyak yang meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan dan kemewahan dunia. Hal itu dimaksudkan agar orang kebanyakan (awam) mau dan bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir, dengan kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, orang awam yang tidak mengerti akan terjebak dalam masalah dunia ini; menjadi lupa terhadap Tuhan, ketika mengikuti laku para sahabat. Sesungguhnya, orang yang sempurna (insân al-kâmil) tidak akan tersibukkan oleh apapun kecuali Allah, walau bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam. Karena itu, hati – hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan dianut masyarakat tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus diperingatkan. Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari harta halal. Bila dari harta haram, maka ia harus “disingkirkan”. Dengan demikian, zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya, ia tidak bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan duniawi sehingga lupa pada Tuhan.


Hukum Membaca Hizib
Oleh : Ahmad Faruq Ardianto
Penyuluh Agama Islam Kec. Gondang Mojokerto

Mengamalkan do’a-do’a, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk do’a kepada Allah SWT. Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
'Berdo’alah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu.(QS al-Mu'min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini.
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:" كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan."[1]
Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut." Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. [2]
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman meggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “'Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” [3]
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:
"Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya."[4]
lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.
A-Marruzi berkata, ''Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)." Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila... dan seterusnya.
Abu Dawud menceritakan, "Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil." Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya)" [5]
Namun tidak semua do’a-do’a dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.
1.      Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW
2.      Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.
3.      Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan do’a dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja." [6]
Abdullah bin Amr mengajarkan kalimat ini kepada anak-anaknya yang sudah bisa mengerti pelajaran. Kepada anak-anak balitanya yang belum bisa menangkap pelajaran, Abdullah menulis kalimat (yang diajarkan Rasulullah SAW) itu, lalu menggantungkannya di tubuh mereka. Imam At-Turmudzi mengatakan, hadits ini hasan,”[7]


[1] HR Muslim No. 4079
[2] At-Thibb an-Nabawi, hal 167
[3] HR Ahmad No. 3385
[4] Lihat : Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181
[5] Al-Adab asy-Syar'iyyah wal Minah al-Mar'iyyah, juz II hal 307-310
[6] Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83
[7] An-Nawawi, Al-Adzkar Al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar, (Mesir, Darul Hadits, tahun 2003 M/1424 H), hal. 102


FENOMENA KESURUPAN
DAN METODE PENYEMBUHAN
 Oleh : Ahmad Faruq Ardianto

Peristiwa masuknya jin ke dalam tubuh manusia masih menjadi teka-teki bagi sebagian orang. Peristiwa yang lebih dikenal dengan istilah kesurupan atau kerasukan jin ini acap kali menjadi polemik di tengah masyarakat kita yang heterogen. Sehingga sekian persepsi bahkan sikap kontroversi pun bermunculan. Ada yang membenarkan dan ada pula yang mengingkari. Bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai perkara dusta dan termasuk dari kesyirikan. Dalam Islam, Fenomena kesurupan merupakan bagian dari keyakinan kepada yang ghaib. Kesurupan merupakan intervensi jin dalam perilaku individu sehingga ia mengalami gangguan perilaku.
Ada beberapa golongan atau orang yang tidak percaya terhadap fenomena kesurupan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa fenomena kesurupan adalah melanggar syari’at bahkan mengandung unsur-unsur syirik. Namun fenomena kerasukan jin adalah kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Di samping memang sering terjadi di lapangan, realita ini juga dibuktikan dengan dalil al Quran, hadis dan kesepakatan ulama. Satu-satunya golongan yang mengingkari realita ini adalah mu’tazilah, sebab mereka lebih mengedepankan akal dan logika sederhana, ketimbang dalil al Quran dan sunah.
Ada banyak sebab, mengapa jin merasuk ke dalam tubuh manusia, bisa karena motivasi cinta dan bisa sebaliknya, karena kebencian. Terdapat banyak dalil dari al Quran dan hadis yang menggambarkan keberadaan penyakit kesurupan jin. Allah berfirman dalam QS. al Baqarah ayat 275 menceritakan tentang keadaan pemakan riba ketika dibangkitkan dari kubur.
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Mengenai ayat ini, ibnu katsir mengatakan :
أي لا يقومون من قبورهم يوم القيامة إلا كما يقوم المصروع حال صرعه وتخبط الشيطان له ، وذلك أنه يقوم قياماً منكراً ، وقال ابن عباس : آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنوناً يخنق
“Maksud ayat, pemakan riba tidak akan dibangkitkan dari kubur mereka pada hari kiamat kecuali seperti bangkitnya orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Karena dia berdiri dengan cara tidak benar. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Pemakan riba, dibangkitkan pada hari kiamat seperti orang gila yang tercekik.’ ” [1]
Terkait fenomena kesurupan, al-Qurtubi menegaskan,
هذه الآية دليل على فساد إنكار من أنكر الصرع من جهة الجن، وزعم أنه من فعل الطبائع وأن الشيطان لا يسلك في الإنسان ولا يكون منه مس
“Ayat ini dalil tidak benarnya pengingkaran orang terhadap fenomena kesurupan karena kerasukan jin. Mereka menganggap bahwa itu hanya murni penyakit badan. Sedangkan setan tidak bisa mengalir di dalam tubuh-tubuh manusia dan tidak bisa merasuk ke dalam tubuhnya.”[2]
Tentang fenomena kesurupan ini, ada beberapa hadits yang menceritakan ada seorang pada zaman nabi yang kesurupan atau kerasukan jin:
إنَّ الْمَرْأَةَ السَّوْدَاءَ أَتَتِ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللهَ لِى. قَالَ : إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَكِ. قَالَتْ أَصْبِرُ. قَالَتْ فَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ. فَدَعَا لَهَا.
Seorang wanita mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia berkata: “Sesungguhnya aku sering kerasukan dan auratku terbuka, maka tolong berdoa kepada Allah untukku!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kamu bersabar, maka bagimu adalah surga, namun jika engkau tetap berkehendak untuk didoakan, aku akan berdoa pada Allâh agar menyembuhkanmu. Wanita tersebut berkata, “Aku memilih sabar. Namun tolong berdoa kepada Allâh agar auratku tidak terbuka”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuknya.”[3]
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُ مِنْهُ ثَلاَثَةَ أَشْيَاءَ عَجِيْبَةً، وَجَاءَتِ امْرَأَةٌ بِصَبِيٍّ، فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ هَذَا يُصْرَعُ فِى الشَّهْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، قَالَ: ادْنِيْهِ مِنِّي، فَتَفَلَ فِي فِيْهِ، وَقَالَ: اخْرُجْ عَدُوَّ اللهِ أَنَا رَسُوْلُ اللهِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا: إِذَا رَجَعْتِ فَأَعْلِمِيْنِي مَا صَنَعَ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَتْهُ بِكَبْشَيْنِ وَشَيْئٍ مِنْ سَمْنٍ وَأَقْطٍ، فَقَالَ لِي: خُذْ مِنْهَا أَحَدَ الْكَبْشَيْنِ وَمَا مَعَهَا، قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا رَأَيْتُ مِنْهُ ذَاكَ
Aku pernah bersama Nabi, sehingga aku bisa melihat dari beliau tiga perkara yang sangat mengagumkan. Kami melewati seorang wanita yang tengah duduk membawa anaknya. Wanita itu berkata, Ya Rasulullah, anakku ini kesurupan dalam sebulan sampai tujuh kali”. Beliau bersabda, “Dekatkanlah dia kepadaku! Lalu beliau meludah di mulut anak itu seraya bersabda, Keluarlah wahai musuh Allah, karena sesungguhnya aku adalah utusan Allah! Setelah itu beliau berpesan, Jika engkau telah kembali ke rumahmu, beritahukanlah kepadaku tentang apa yang diperbuatnya”. Ketika beliau kembali dari perjalanannya, wanita itu menemui beliau dengan menghadiahkan dua ekor kambing, minyak samin dan susu perasan. Beliau bersabda kepadaku, Terimalah salah satu kambing yang dihadiahkannya, juga minyak dan susu perasannya!” Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, sekarang saya sudah tidak melihat lagi anakku terkena kesurupan”.[4]
Para ulama ahli tafsir telah bersepakat terhadap kebenaran adanya kesurupan sebagaimana yang mereka nyatakan dalam kitab tafsirnya masing-masing dalam menafsirkan surat al Baqarah ayat ke 275. Mereka antara lain Imam Ath-Thabari, Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Al-Alusi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa  Eksistensi jin telah dinyatakan oleh Al-Quran, sunnah dan kesepakatan ulama salaf. Demikian pula tentang bisa masuknya jin ke dalam jasad, dinyatakan dengan kesepakatan para Imam Ahlus Sunnah. Perkara tersebut merupakan hal yang bisa disaksikan dan dirasakan bagi orang yang mentadaburinya. Ia (jin) bisa masuk ke dalam jasad orang yang kesurupan lalu orang tersebut berbicara dengan pembicaraan yang tidak diketahuinya dan tidak disadarinya. Bahkan dipukul dengan pukulan yang sangat keras pun tidak merasakannya.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya Zad Al-Ma’ad mengatakan, ”Kesurupan itu ada dua jenis, kesurupan karena ruh-ruh jahat yaitu jin, dan kesurupan karena adanya percampuran berbagai hal yang hina (tabi’at-tabi’at buruk)”. Yang kedua inilah yang menjadi pembicaraan para dokter tentang sebab dan cara penyembuhannya, sedangkan kesurupan ruh-ruh (jin), maka para dokter spesialis dan para ahli mengakuinya dan tidak menolak keberadaannya.
Di dalam Maqalat Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa menurut pendapat Ahlus Sunnah Wal Jama’ah jin dapat memasuki tubuh manusia, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275.
Disebutkan dalam hadis dari Abul Aswad as-Sulami, bahwa diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَدْمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْغَرَقِ، وَالْحَرِيقِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tertimpa benda keras, aku berlindung kepada-Mu dari mati terjatuh, aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam dan kebakaran, dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan setan merasuki badanku ketika mendekati kematian.”[5]
Para Ahli Medis Dan Kedokteran Modern juga berpendapat tentang fenomena kesurupan ini, antara lain :
1.      Dr. Abdurraziq Nufal mengatakan:
“Terdapat beberapa penyakit yang tidak dikategorikan dalam penyakit-penyakit manapun yang telah terdeteksi oleh para ilmuwan. Sekalipun penyakit-penyakit tersebut memiliki kemiripan secara fisik dengan penyakit lain, namun mereka (para ahli) tetap kebingungan mendeteksi jenisnya, dan mencarikan obat untuknya. Mereka hanya mampu mencapai kesimpulan bahwa penyakit-penyakit ini adalah lain dari yang lain.”
Beliau juga menambahkan, “Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa mereka (para ahli) telah sampai pada kesimpulan bahwa penyakit itu adalah akibat kerasukan jin. Jadi, semakin hari ilmu pengetahuan tersebut berkembang dan mampu mengungkap hal-hal yang belum terungkap sebelumnya. Namun demikian, betapa pun pesatnya ilmu pengetahuan, ia tidak akan bisa mencapai apa-apa yang telah dicapai oleh al Quran. Kitab suci ini telah mengemukakan hal tersebut sejak 14 abad silam.”
2.      Dr. Ali Muhammad Muthawi, Dekan I pada Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Mesir, mengatakan, “Kata Al-Mass yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 275, serta penyakit-penyakit lain yang ditimbulkan olehnya mencakup penyakit histeria, epilepsi, dan penyakit-penyakit kejiwaan, terutama kegoncangan jiwa, termasuk juga keragu-raguan dan yang menyakiti manusia adalah setan-setannya jin, baik jin laki-laki maupun jin perempuan.”


[1] Tafsir Ibn Katsir, 1:708
[2] Tafsir a-Qurtubi, 3:355
[3] HR. al-Bukhari 5/2140 (5328) dan Muslim 8/16 (6736).
[4] Syaikh Al-Bani menyatakan hadits ini jayyid, dalam silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no.485
[5] HR. Nasai 5533 dan dishahihkan al-Albani