DO’A KYAI
“AMATIR”
YANG
SERING SALAH DHOMIR
Oleh : Ahmad Faruq
عَنْ
ثَوْبَانَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:" لَا يَؤُمُّ عَبْدٌ فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ،
فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ ". (رواه الترمذي وحسنه: 357)
Dari Stauban RA berkata : Rasululloh SAW bersabda : “Tidak boleh seorang
hamba meng-imam-i doa lalu mengkhususkan untuk dirinya
sendiri tanpa menyertakan para makmum. Maka kalau dia melakukan itu berarti dia
mengkhianati mereka” (H.R. Turmudzi : 357).
Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak boleh
orang yang menjadi imam dalam berdo’a memakai lafadz mufrod atau dlomir
mufrod (mutakallim wahdah). Oleh karena itu para ulama membolehkan
pembacaan doa ma’tsur dalam Al-Qur’an dengan mengubah lafadz mufrod menjadi
jamak atau dlomir mutakallim wahdah menjadi dlomir
mutakallim ma’al ghoir.
Perubahan dhomir semisal doa ma’tsur dalam
Al-Qur’an tidak dihukumi kafir dengan niat iqtibas bukan
niat membaca al qur’an. Karena apabila merubah dhomir dengan tetap
berniat membaca al Qur’an, maka hal tersebut termasuk dalam kategori tahrif
(merubah redaksi al Qur’an) dan hal tersebut sangat dilarang.
Dalam tinjauan ilmu fiqih, imam yang berdo’a
memakai lafadz mufrod atau dlomir mufrod (mutakallim wahdah)
tidak mengubahnya menggunakan dlomir mutakallim ma’al ghoir maka
hukumnya makruh.
(وَ
كُرِهَ لِإِمَامٍ تَخْصِيْصُ نَفْسِهِ بِدُعَاءٍ) أَيْ بِدُعَاءِ الْقُنُوْتِ،
لِلنَّهْيِ عَنْ تَخْصِيْصِ نَفْسِهِ بِالدُّعَاءِ. فَيَقُوْلُ الْإِمَامُ:
اهْدِنَا، وَمَا عُطِفَ عَلَيْهِ بِلَفْظِ الْجَمْعِ. وَ قَضِيَّتُهُ أَنَّ
سَائِرَ الْأَدْعِيَةِ كَذلِكَ، وَ يَتَعَيّنُ حَمْلُهُ عَلَى مَا لَمْ يَرِدْ
عَنْهُ وَ هُوَ إِمَامٌ بِلَفْظِ الْإِفْرَادِ وَ هُوَ كَثِيْرٌ. قَالَ بَعْضُ
الْحُفَّاظِ: إِنَّ أَدْعِيَتَهُ كُلُّهَا بِلَفْظِ الْإِفْرَادِ، وَ مِنْ ثَمَّ
جَرَى بَعْضُهُمْ عَلَى اخْتِصَاصِ الْجَمْعِ بِالْقُنُوْتِ.
(Dimakruhkan bagi seorang imām mengkhususkan doa qunut
untuk dirinya sendiri) sebab ada larangan dari hal itu, maka imam
mengucapkan dengan doa: (اهْدِنَا) – berilah petunjuk pada kami – dan lafazh yang disambung
dengan lafazh tersebut dengan menggunakan bentuk jama‘. Larangan tersebut
memberi pengertian bahwa seluruh doa hukumnya juga seperti itu. Namun hal itu
diarahkan kepada doa yang tidak diajarkan dari Nabi s.a.w. sebab Nabi ketika
menjadi imām berdoa dengan bentuk mufrad sangatlah
banyak. Sebagian ‘ulamā’ ahli hadits mengatakan bahwa doa-doa Nabi seluruhnya
memakai bentuk mufrad, oleh karenanya sebagian ‘ulamā’
menentukan bentuk jama‘ pada doa qunut. (. I‘ānah Thālibīn Juz
1, Hal. 189)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar