mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 28 Juli 2020


DO’A KYAI “AMATIR”
YANG SERING SALAH DHOMIR
Oleh : Ahmad Faruq

عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:" لَا يَؤُمُّ عَبْدٌ فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ، فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ ". (رواه الترمذي وحسنه: 357)
Dari Stauban RA berkata : Rasululloh SAW bersabda : “Tidak boleh seorang hamba meng-imam-i doa lalu mengkhususkan untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan para makmum. Maka kalau dia melakukan itu berarti dia mengkhianati mereka” (H.R. Turmudzi : 357).

Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak boleh orang yang menjadi imam dalam berdo’a memakai lafadz mufrod atau dlomir mufrod (mutakallim wahdah). Oleh karena itu para ulama membolehkan pembacaan doa ma’tsur dalam Al-Qur’an dengan mengubah lafadz mufrod menjadi jamak atau dlomir mutakallim wahdah menjadi dlomir mutakallim ma’al ghoir.
Perubahan dhomir semisal doa ma’tsur dalam Al-Qur’an tidak dihukumi kafir dengan niat iqtibas bukan niat membaca al qur’an. Karena apabila merubah dhomir dengan tetap berniat membaca al Qur’an, maka hal tersebut termasuk dalam kategori tahrif (merubah redaksi al Qur’an) dan hal tersebut sangat dilarang.
Dalam tinjauan ilmu fiqih, imam yang berdo’a memakai lafadz mufrod atau dlomir mufrod (mutakallim wahdah) tidak mengubahnya menggunakan dlomir mutakallim ma’al ghoir maka hukumnya makruh.
(وَ كُرِهَ لِإِمَامٍ تَخْصِيْصُ نَفْسِهِ بِدُعَاءٍ) أَيْ بِدُعَاءِ الْقُنُوْتِ، لِلنَّهْيِ عَنْ تَخْصِيْصِ نَفْسِهِ بِالدُّعَاءِ. فَيَقُوْلُ الْإِمَامُ: اهْدِنَا، وَمَا عُطِفَ عَلَيْهِ بِلَفْظِ الْجَمْعِ. وَ قَضِيَّتُهُ أَنَّ سَائِرَ الْأَدْعِيَةِ كَذلِكَ، وَ يَتَعَيّنُ حَمْلُهُ عَلَى مَا لَمْ يَرِدْ عَنْهُ وَ هُوَ إِمَامٌ بِلَفْظِ الْإِفْرَادِ وَ هُوَ كَثِيْرٌ. قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ: إِنَّ أَدْعِيَتَهُ كُلُّهَا بِلَفْظِ الْإِفْرَادِ، وَ مِنْ ثَمَّ جَرَى بَعْضُهُمْ عَلَى اخْتِصَاصِ الْجَمْعِ بِالْقُنُوْتِ.
(Dimakruhkan bagi seorang imām mengkhususkan doa qunut untuk dirinya sendiri) sebab ada larangan dari hal itu, maka imam mengucapkan dengan doa: (اهْدِنَا) – berilah petunjuk pada kami – dan lafazh yang disambung dengan lafazh tersebut dengan menggunakan bentuk jama‘. Larangan tersebut memberi pengertian bahwa seluruh doa hukumnya juga seperti itu. Namun hal itu diarahkan kepada doa yang tidak diajarkan dari Nabi s.a.w. sebab Nabi ketika menjadi imām berdoa dengan bentuk mufrad sangatlah banyak. Sebagian ‘ulamā’ ahli hadits mengatakan bahwa doa-doa Nabi seluruhnya memakai bentuk mufrad, oleh karenanya sebagian ‘ulamā’ menentukan bentuk jama‘ pada doa qunut. (I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 189)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar