PERISTIWA MI'RAJ
BUKAN DALIL BAHWA ALLAH BERTEMPAT
DI ARSY
Oleh : Ahmad faruq (Penyuluh
Agama Islam Kec. Gondang Kab Mojokerto)
Dalam literatur kitab aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah yang dipelajari di lingkungan pesantren banyak penjelasan bahwa
peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu
shalat. Hal tersebut tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Dzat Allah
bertempat di atas (arsy), atau di arah manapun. Karena pada dasarnya
dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah Allah memiliki sifat mukhalafatul
lil hawadits, Allah berbeda dengan benda-benda ciptaannya, artinya Allah
tidak butuh tempat, arah atau apapun seperti halnya ciptaannya.
Namun seiring maraknya penulis-penulis konten
ke-islam-an yang kurang memahami khazanah pesantren, maraknya informasi yang
tidak lengkap perihal Mi’raj yang kemudian dipahami sebagai bukti bahwa Allah
berada --secara fisik-- di atas langit (arsy). Kebanyakan para da’i-da’I
yang menjelaskan kejadian Mi’raj rasulullah pun jarang menjelaskannya secara utuh
dari berbagai aspek keilmuan, termasuk dalam tinjauan ilmu tauhid yang sahih,
yaitu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Mi'raj merupakan peristiwa berangkatnya rasulullah
ke sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Namun
sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau
hadits-hadits tentang Mi’raj. Peristiwa
Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah
langsung dari Allah di puncak gunung Tursina. Sebagaimana firman Allah dalam
QS. Thaha: 10-14
!$£Jn=sù $yg8s?r& y“ÏŠqçR #Óy›qßJ»tƒ ÇÊÊÈ
þ’ÎoTÎ) O$tRr& y7•/u‘ ôìn=÷z$$sù y7ø‹n=÷ètR ( y7¨RÎ) ÏŠ#uqø9$$Î/ Ĩ£‰s)ßJø9$# “YqèÛ ÇÊËÈ
$tRr&ur y7è?÷ŽtI÷z$# ôìÏJtGó™$$sù $yJÏ9 #ÓyrqムÇÊÌÈ
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ’ÎTô‰ç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü“Ìò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
Semua redaksi menunjukkan tentang tempat hamba
Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah.
Dikisahkan pula bahwa rasulullah bolak balik dari sidratul muntaha ke
tempatnya Nabi Musa lalu kembali lagi ke sidratul muntaha untuk memohon
keringanan. Sesungguhnya nabi Musa
berkata kepada Nabi Muhammad :
إرجع إلى ربك فاسأله التخفيف
"Kembalilah engkau
kepada Tuhanmu, maka mintalah keringanan”.
Maksudnya nabi Musa menyuruh rasulullah agar kembali ke tempat beliau
menerima wahyu dari Allah, yakni tempat beliau menerima perintah sholat, nabi
Musa sama sekali tidak menyebutkan tempat Allah, di saat rasulullah berada di Sidratul
Muntaha tidak menunjukkan Allah bertempat di situ atau atas nya lagi, maka
saat nabi bolak-balik ke situ pun tidak menunjukkan demikian.
Namun belakangan ini banyak para muballigh yang tanpa sadar berpotensi
“menodai” kisah Isra’ dan Mi’raj ini dengan memasukkan ideologi tertentu dengan
menempatkan “Allah bersemayam di Arsy, dan mari kita lihat kebenaran
ideologi tersebut dengan Ayat tentang Isra’ dan Mi’raj, adakah tersurat atau
tersirat ideologi tersebut dalam Al-Quran ?
Allah taala berfirman :
z`»ysö6ß™ ü“Ï%©!$# 3“uŽó r& ¾Ínωö7yèÎ/ Wxø‹s9 šÆÏiB ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ’n<Î) ωÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# “Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# çŽÅÁt7ø9$# ÇÊÈ
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [QS Al-Isra’ 1]
Mari kita cermati ayat tersebut, adakah dalam ayat itu disebutkan bahwa
rasulullah Mi’raj ke langit untuk bertemu dengan Allah? dari mana mereka
memahami dari Ayat tersebut bahwa rasulullah malam itu pergi ke tempat Allah?
yang ada dalam ayat hanya :
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
Agar kami perlihatkan tanda-tanda kami
Ayat tersebut bukan menjelaskan bahwasanya
bukanlah maksud dari mi'raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad
-shallallahu 'alayhi wasallam- naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya,
melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah -shallallahu 'alayhi
wasallam- dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah. Sungguh sebuah
prasangka yang mengada-ngada bila mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah
perjalanan rasulullah ke tempat Allah, dan menjadikan sebagai bukti Allah
berada Asry (bersemayang di Asry), Na’uzubillah.
Faham ahlussunnah wal jamaah yang penulis
maksud adalah aliran yang mengikuti rumusan Asy’ariyah dan Maturidiyah
sebagaimana al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) menyimpulkan bahwa
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, beliau mengatakan:
اِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمْ الأَشَاعِرَةُ
وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
Jika dikatakan
Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al
Maturidiyyah”.[1]
Secara akal, seandainya Allah mempunyai tempat dan
arah, maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian
berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan yang
demikian itu adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam
dimensi tersebut.
Selain ayat di atas, dalil yang membuktikan bahwa
Allah ada tanpa tempat adalah sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْئٌ غَيْرهُ
Makna hadits ini adalah bahwa Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal
belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan
arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari
sesuatu yang baru (makhluk).
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua
tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah
berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan
merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang
ketika melakukan shalat, ia menghadap ka'bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat.
Walhasil, tidak boleh dikatakan Allah ada di satu
tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah
atau semua arah penjuru. Al Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan al Imam Dzu
an-Nun al Mishri (w. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ
فَاللهُ خِلَافُ ذٰلِكَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar