mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 28 Juli 2020


PERISTIWA MI'RAJ
BUKAN DALIL BAHWA ALLAH BERTEMPAT DI ARSY
Oleh : Ahmad faruq (Penyuluh Agama Islam Kec. Gondang Kab Mojokerto)

Dalam literatur kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di lingkungan pesantren banyak penjelasan bahwa peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu shalat. Hal tersebut tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas (arsy), atau di arah manapun. Karena pada dasarnya dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah Allah memiliki sifat mukhalafatul lil hawadits, Allah berbeda dengan benda-benda ciptaannya, artinya Allah tidak butuh tempat, arah atau apapun seperti halnya ciptaannya.
Namun seiring maraknya penulis-penulis konten ke-islam-an yang kurang memahami khazanah pesantren, maraknya informasi yang tidak lengkap perihal Mi’raj yang kemudian dipahami sebagai bukti bahwa Allah berada --secara fisik-- di atas langit (arsy). Kebanyakan para da’i-da’I yang menjelaskan kejadian Mi’raj rasulullah pun jarang menjelaskannya secara utuh dari berbagai aspek keilmuan, termasuk dalam tinjauan ilmu tauhid yang sahih, yaitu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Mi'raj merupakan peristiwa berangkatnya rasulullah ke sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Namun sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits-hadits  tentang Mi’raj. Peristiwa Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Thaha: 10-14
!$£Jn=sù $yg8s?r& yÏŠqçR #ÓyqßJ»tƒ ÇÊÊÈ   þÎoTÎ) O$tRr& y7/u ôìn=÷z$$sù y7øn=÷ètR ( y7¨RÎ) ÏŠ#uqø9$$Î/ Ĩ£s)ßJø9$# YqèÛ ÇÊËÈ   $tRr&ur y7è?÷ŽtI÷z$# ôìÏJtGó$$sù $yJÏ9 #ÓyrqムÇÊÌÈ   ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü̍ò2Ï%Î! ÇÊÍÈ  
Semua redaksi menunjukkan tentang tempat hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah. Dikisahkan pula bahwa rasulullah bolak balik dari sidratul muntaha ke tempatnya Nabi Musa lalu kembali lagi ke sidratul muntaha untuk memohon keringanan. Sesungguhnya nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad :
إرجع إلى ربك فاسأله التخفيف
"Kembalilah engkau kepada Tuhanmu, maka mintalah keringanan”.
Maksudnya nabi Musa menyuruh rasulullah agar kembali ke tempat beliau menerima wahyu dari Allah, yakni tempat beliau menerima perintah sholat, nabi Musa sama sekali tidak menyebutkan tempat Allah, di saat rasulullah berada di Sidratul Muntaha tidak menunjukkan Allah bertempat di situ atau atas nya lagi, maka saat nabi bolak-balik ke situ pun tidak menunjukkan demikian.
Namun belakangan ini banyak para muballigh yang tanpa sadar berpotensi “menodai” kisah Isra’ dan Mi’raj ini dengan memasukkan ideologi tertentu dengan menempatkan “Allah bersemayam di Arsy, dan mari kita lihat kebenaran ideologi tersebut dengan Ayat tentang Isra’ dan Mi’raj, adakah tersurat atau tersirat ideologi tersebut dalam Al-Quran ?
Allah taala berfirman :
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÈ  
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [QS Al-Isra’ 1]
Mari kita cermati ayat tersebut,  adakah dalam ayat itu disebutkan bahwa rasulullah Mi’raj ke langit untuk bertemu dengan Allah? dari mana mereka memahami dari Ayat tersebut bahwa rasulullah malam itu pergi ke tempat Allah? yang ada dalam ayat hanya :
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
Agar kami perlihatkan tanda-tanda kami
Ayat tersebut bukan menjelaskan bahwasanya bukanlah maksud dari mi'raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad -shallallahu 'alayhi wasallam- naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah -shallallahu 'alayhi wasallam- dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah. Sungguh sebuah prasangka yang mengada-ngada bila mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan rasulullah ke tempat Allah, dan menjadikan sebagai bukti Allah berada Asry (bersemayang di Asry), Na’uzubillah.
Faham ahlussunnah wal jamaah yang penulis maksud adalah aliran yang mengikuti rumusan Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagaimana al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) menyimpulkan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, beliau mengatakan:
اِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمْ الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”.[1]
Secara akal, seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan yang demikian itu adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Selain ayat di atas, dalil yang membuktikan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْئٌ غَيْرهُ
هُAllah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya.[2]
Makna hadits ini adalah bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat, ia menghadap ka'bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat.
Walhasil, tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (w. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ  بِبَالِكَ فَاللهُ خِلَافُ ذٰلِكَ


[1] al Hafizh Murtadla az-Zabidi, Ithaf as Sadah al Muttaqin syarh Ihya Ulumiddin,  Juz II hlm. 6
[2] H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar