Sejarah
Singkat Ruqyah (ilmu suwuk) Dalam Islam
Oleh : Ahmad Faruq Ardianto
Sebelum kedatangan Islam, ruqyah
telah dikenal di kalangan masyarakat Arab. Ruqyah merupakan warisan
bangsa Arab dalam rangka mendapatkan berkah dan permohonan kepada Allah SWT. Sebenarnya
Ruqyah berasal dari agama-agama samawi, kemudian diselewengkan oleh
orang-orang sesat sehingga dimasukkan ke dalam sihir dan pengobatan.
Mereka mencampur adukkan Ruqyah
dengan ucapan-ucapan lain yang bisa jadi mereka sendiri tidak memahami artinya.
Dalam praktiknya, ruqyah juga ditambah dengan suatu benda seperti
bebatuan, potongan-potongan tulang, bahkan dengan kotoran atau rambut hewan.
Akhirnya bercampur aduklah pemahaman antara ruqyah dengan sihir di
kalangan masyarakat jahiliah.
Setelah Islam datang, ruqyah digunakan
untuk terapi dengan menggunakan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan do’a
yang ma’tsur
melalui sarana do’a.[1]
Oleh karena itu setelah Islam datang, para sahabat saling bertanya tentang ruqyah
atau mantra-mantra yang pernah dipraktikkan pada masa jahiliah. ‘Auf bin
Malik al-Asja’i
menceritakan bahwa :
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ
رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dahulu kami meruqyah di masa
jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang
hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian.
Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.” [2]
Banyak
para sahabat Nabi SAW yang mempunyai keahlian melakukan ruqyah. Tetapi
mereka mengalami kebimbangan ketika Nabi SAW. melarang ruqyah. Salah
satu di antara mereka adalah keluarga Amr bin Hazm. Suatu ketika mereka
menemui Rasulullah SAW. untuk menanyakan perihal larangan ruqyah. Mereka
lalu memperlihatkan kepada Nabi SAW bagaimana cara melakukan ruqyah dari
sengatan kalajengking atau gigitan ular berbisa.
Setelah
memperhatikan cara-cara mereka melakukan ruqyah, Nabi SAW kemudian
mengatakan “saya kira tidak ada masalah dengan ruqyah yang kalian lakukan.
Barang siapa di antara kalian yang bisa menolong saudaranya, maka lakukanlah.”[3]
نَهَى
رَسُولُ اللهِ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ. إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي
بِهَا مِنَ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوهَا
عَلَيْهِ فَقَالَ مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ
أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ.
Memang
istilah ruqyah pada zaman jahiliah diartikan sebagai mantra atau
jampi-jampi, yakni kalimat yang berpotensi mendatangkan daya ghaib atau susunan
kata yang berunsur puisi dan dianggap mengundang kekuatan ghaib. Mantra atau
jampi-jampi dibaca untuk meminta bantuan kekuatan yang melebihi kekuatan
natural, guna meraih manfaat atau menolak bahaya.
Dalam
pengertian tersebut, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah
itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya.[4]
Sehingga Nabi SAW melarang ruqyah.
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ : سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Dari
Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah
Saw bersabda: “Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah,[5] dan tiwalah[6] adalah syirik.” [7]
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa nabi SAW. pernah melarang ruqyah, tetapi
tidak berlaku pada semua jenis ruqyah. Ruqyah yang dilarang Nabi SAW.
hanyalah ruqyah yang di dalamnya terdapat unsur syirik seperti yang
pernah dilakukan orang-orang pada masa jahiliah. Sehingga selama ruqyah tidak
dimasuki unsur syirik maka dibolehkan.[8]
Suatu ketika,
Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat malam, tiba-tiba tangannya tersengat
kalajengking. Setelah itu beliau mengambil air yang dicampurkan dengan garam
kemudian dituangkan ke tangan yang terkena sengatan tadi sambil dibacakan al Qur’an
surat al-Kafirun, al-Falaq, dan an-Nas. Peristiwa ini dijelaskan dalam
sebuah Hadis Nabi SAW:
لَدَغَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقْرَبٌ
وَهُوَ يُصَلِّي، فَلَمَّا فَرَغَ، قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْعَقْرَبَ لا تَدَعُ
مُصَلِّيًا وَلا غَيْرَهُ، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ وَمِلْحٍ، وَجَعَلَ يَمْسَحُ
عَلَيْهَا وَيَقْرَأُ بِقُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ
الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Ketika Rasulullah sedang shalat, beliau disengat
kalajengking. Setelah selesai shalat, beliau bersabda, “Semoga Allah SWT. melaknat
kalajengking yang tidak membiarkan orang yang sedang shalat atau yang lainnya,”
lalu beliau mengambil sewadah air dan garam. Kemudian beliau usap bagian
anggota badan yang disengat kalajengking, seraya membaca surat al-kafirun, al-
Falaq, dan an-Nas.”[9]
Berdasarkan
hadis di atas dapat diketahui Bahwa Nabi SAW pernah melakukan ruqyah dengan
ayat-ayat al Qur’an yang dikombinasikan
dengan air dan garam, yaitu dengan mencampurkan air dan garam ke dalam sebuah
wadah kemudian diusapkan ke bagian tangan yang tersengat kalajengking sambil
membacakan al Qur’an, yakni surat al-kafirun, al-Falaq, dan an-Nas.[10]
Jadi, ruqyah
telah ada sejak sebelum kedatangan Islam. tetapi ruqyah yang dikenal
saat itu adalah sebagai mantra dan jampi-jampi yang kental dengan muatan
syirik, karena dalam praktiknya permohonan penyembuhan bukan dengan menggunakan
ayat-ayat al Qur’an dan do’a-do’a ma’tsurah serta bukan meyakini
keberadaan Allah SWT. sebagai pemberi penyembuhan, melainkan kepada selainNya,
yaitu jin, setan dan sebagainya.
Maka
ketika Islam datang, intrik-intrik yang berbau kesyirikan dalam praktek ruqyah
diganti dengan memasukkan dan menggunakan ayat-ayat al Qur’an sebagimana
yang dipraktekkan oleh Nabi SAW ketika meruqyah dirinya, keluarga, dan
kerabatnya.
[1] Achmad
Zuhdi, Terapi Qur’ani; Tinjauan Historis, al-Qur’an-al-Hadis dan Sains Modern
(Surabaya: Imtiyaz, 2015), hal. 29.
[2] H.R.
Muslim Hadis Nomor 2200
[4] Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani;
Tinjauan Historis, al-Qur‟an-al-Hadis dan Sains Modern (Surabaya: Imtiyaz, 2015),
hal. 29.
[5] Tamimah
adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal dan menolak
penyakit ‘ain
[6] Tiwalah
adalah sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan
seorang istri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai istrinya
[7] Musnad al-Imam Ahmad bin
Hambal, Hadis Nomor 3615
[8] Achmad Zuhdi, Op.Cit,
hal. 30
[9] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub
Abu al-Qasim al-Tabhrani¸al-Mu’jam al-Shagir, Hadis Nomor 830 (Bayrut:
al-Maktab al-Islami, 1985), hal. 87.
[10] Achmad Zuhdi, Op.Cit,
hal. 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar