KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB
Oleh : Ahmad Faruq
Oleh : Ahmad Faruq
1.
Khutbah Jum’at Dengan Selain Bahasa Arab
Pada prinsipnya, rukun-rukun khutbah jum’at ini disyaratkan harus
disampaikan dengan bahasa arab walaupun para jamaah yang hadir tidak memahaminya.
أَنْ تُتْلَى
أَرْكَانُ الخُطْبَةِ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ. عَلَى الخَطِيبِ أنْ يَخْطُبَ
بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ وَإنْ لَم يَفْهَمْهَا الحَاضِرُونَ.
Hendaknya rukun-rukun khutbah itu
dibaca dengan bahasa Arab. Wajib bagi khotib untuk berkhutbah dengan bahasa
Arab meskipun jamaah yang hadir tidak memahaminya. [1]
وَكَوْنُهُمَا
بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِنْ كَانَ
الْكُلُّ
أَعْجَمِيِّيْنَ لإِتْبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الأًرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ سم:
يُفِيْدُ أَنَّ
كَوْنَ مَا عَدَا الأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ.
Kedua
Khutbah harus disampaikan dengan bahasa, meskipun seluruh jamaah yang hadir
adalah ‘ajami (bukan orang arab) Karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.
(Peryataan dengan bahasa arab) maksudnya adalah rukun-rukun khutbah dan bukan
yang lain. Asy Syabromalisi berkata: Hal ini berarti bahwa di luar rukun
Khutbah, yakni hal-hal yang berkaitan dengan khutbah yang disampaikan tidak
dengan bahasa Arab, tidak bisa dianggap menjadi penghalang muwalah
(ketersambungan diantara rukun-rukun
khutbah).[2]
لَوْ
كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرَّ قاَلَ م ر
مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ
لإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طَالَ
بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لأَنَّ غَيْرَ
الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم
وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ
بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ
يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش
Seandainya
antara rukun-rukun khutbah menggunakan selain bahasa Arab, maka boleh (Imam
Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak
panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak
ketersambungan khutbah, sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara
rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan
yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak
mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas
penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan
khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu
menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain
bahasa arab mengandung nasehat sehingga tidak keluar dari pengertiannya sebagai
khutbah.[3]
Dari beberapa keterangan tersebut dapat
dipahami bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun-rukun
khutbah jum’at harus disampaikan dengan bahasa arab, sehingga apabila
disampaikan dengan selain bahasa arab (bahasa masyarakat setempat) dianggap tidak
sah selama khotib mampu berbahasa Arab, karena khutbah yang disampaikan
dengan selain bahasa arab dinilai sebagai laghwun (gurauan yang tidak
mempunyai nilai).
Sedangkan “selain rukun khutbah”,
ulama syafi’iyah menganggap boleh disampaikan dengan selain bahasa Arab selama
pemisahan tersebut tidak panjang sehingga bisa memutus ketersambungan antara
rukun-rukun khutbah (qoth’ul muwaalah) dan harus tetap pada prinsip
mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah.
Karena praktek menerjemahkan rukun-rukun khutbah sudah menjadi kebiasaan
di lingkungan masyarakat dan sudah menjadi tradisi baru yang sulit dihilangkan.
Padahal hal tersebut tanpa disadari bisa mempengaruhi keabsahan shalat jum’at.
Oleh karena itu penulis menghimbau, sebaiknya hal ini menjadi perhatian yang
serius bagi para khotib agar lebih memahami bahwa larangan untuk menerjemahkan
rukun-rukun khutbah bukanlah hal yang menyimpang. Melainkan justru yang sesuai
dengan hadits nabi dan kitab-kitab salaf madzhab syafi’iyah. Sehingga
apabila seorang khotib menerjemahkan rukun khutbah dengan alasan agar para
jamaah yang hadir bisa memahami rukun-rukun khutbah, maka hal tersebut bukan
merupakan alasan yang tepat bahkan justru menyalahi aturan yang ada. Karena
pada prinsipnya rukun-rukun khutbah seharusnya di sampaikan dengan menggunakan
bahasa arab walaupun jamaah yang hadir tidak memahaminya.
Atau terkadang beberapa orang menerjemahkan rukun-rukun khutbah
beralasan karena mengikuti madzhab selain Imam Syafi’i sedangkan shalat
jum’atnya tetap mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Maka hal tersebut justru akan
menimbulkan masalah baru, yaitu pencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq)
dalam satu ibadah, yaitu khutbah dengan mengikuti madzhab lain dan shalat
jum’at mengikuti madzhab imam syafi’i. Dalam hal ini penulis menghimbau
hendaknya para khotib mempelajari dan memahami tentang tatacara berpindah
madzhab, hukum-hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga tidak
terjebak dengan praktek ibadah dengan mencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq)
yang ada dan tidak sesuai dengan kaidah.
Menurut sebagian ulama’, solusi dari permasalahan ini adalah, sebaiknya
rukun-rukun khutbah tersebut diberi tafsiran kemudian tafsiran itu
diterjemahkan menggunakan bahasa setempat (bahasa yang mudah difahami oleh
jamaah yang hadir), sehingga terhindar dari penerjemahan rukun-rukun khutbah
yang menurut pendapat mu’tamad (bisa dipakai pedoman) dianggap tidak
boleh. Tentunya tetap harus memperhatikan bahwa pemisah (tafsiran dan
terjemahannya) antara rukun khutbah yang satu dengan lainnya tidak panjang.
Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh, karena dapat merusak
ketersambungan rukun-rukun khutbah (Qoth’ul Muwaalah).
Namun Abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jazairi dalam kitabnya menyatakan bahwa rukun-rukun khutbah yang disyaratkan
menggunakan bahasa arab tersebut berlaku apabila disampaikan kepada orang arab
(bukan ‘ajam). Sehingga apabila khutbah disampaikan kepada selain orang arab,
maka rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa
arab.
الشافعية
قالوا : يشترط أن تكون أركان الخطبتين باللغة العربية فلا يكفي غير العربية متى أمكن
تعلمها فإن لم يمكن خطب بغيرها هذا إذا كان القوم عربا أما إن كانوا عجما فإنه لا يشترط أداء أركانهما بالعربية
مطلقا ولو أمكنه
تعلمها ما عدا الآية فإنه لا بد أن ينطق بها بالعربية : إلا إذا عجز عن ذلك فإنه يأتي بدلها
بذكر أو دعاء عربي فإن عجز عن هذا أيضا فعليه أن يقف بقدر قراءة الآية
ولا
يترجم وأما غير أركان الخطبة فلا يشترط لها العربية بل ذلك سنة
Menurut
pengikut madzhab Syafi’i: rukun khutbah disyaratkan harus dengan bahasa Arab,
maka tidak cukup tanpa bahasa Arab selagi ada waktu yang memungkinkan untuk
belajar bahasa Arab. Apabila tidak ada
waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab maka boleh berkhutbah dengan
selain bahasa Arab. Ini berlaku bagi orang Arab. Adapun khutbah yang
disampaikan kepada selain orang arab (‘ajami) maka rukun-rukun khutbah tidak
disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa arab, meskipun ada waktu yang
memungkinkan untuk belajar bahasa Arab kecuali ayat al Qur’an, karena ayat al
Qur’an harus diucapkan dengan bahasa Arab. Kecuali apabila khotib tidak mampu
mengucapkannya dengan bahasa Arab, maka ia boleh menggantinya dengan
peringatan/nasehat atau atau do’a yang berbahasa Arab. Apabila khotib
tidak mampu juga, maka ia harus diam kira-kita sepanjang ayat. Dan
jangan menerjemahkan. Sedangkan selain rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan menggunakan bahasa arab, tetapi hukumnya
sunnah.[4]