mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Rabu, 29 Agustus 2018

Khutbah Jum’at Dengan Selain Bahasa Arab

KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB
Oleh : Ahmad Faruq


1.      Khutbah Jum’at Dengan Selain Bahasa Arab
Pada prinsipnya, rukun-rukun khutbah jum’at ini disyaratkan harus disampaikan dengan bahasa arab walaupun para jamaah yang hadir tidak memahaminya.
أَنْ تُتْلَى أَرْكَانُ الخُطْبَةِ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ. عَلَى الخَطِيبِ أنْ يَخْطُبَ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ وَإنْ لَم يَفْهَمْهَا الحَاضِرُونَ.
Hendaknya rukun-rukun khutbah itu dibaca dengan bahasa Arab. Wajib bagi khotib untuk berkhutbah dengan bahasa Arab meskipun jamaah yang hadir tidak memahaminya. [1]
وَكَوْنُهُمَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِنْ كَانَ الْكُلُّ أَعْجَمِيِّيْنَ لإِتْبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الأًرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ سم: يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ.
Kedua Khutbah harus disampaikan dengan bahasa, meskipun seluruh jamaah yang hadir adalah ‘ajami (bukan orang arab) Karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. (Peryataan dengan bahasa arab) maksudnya adalah rukun-rukun khutbah dan bukan yang lain. Asy Syabromalisi berkata: Hal ini berarti bahwa di luar rukun Khutbah, yakni hal-hal yang berkaitan dengan khutbah yang disampaikan tidak dengan bahasa Arab, tidak bisa dianggap menjadi penghalang muwalah (ketersambungan  diantara rukun-rukun khutbah).[2]
لَوْ كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرَّ قاَلَ م ر مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ لإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طَالَ بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش
Seandainya antara rukun-rukun khutbah menggunakan selain bahasa Arab, maka boleh (Imam Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak ketersambungan khutbah, sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain bahasa arab mengandung nasehat sehingga  tidak keluar dari pengertiannya sebagai khutbah.[3]
 Dari beberapa keterangan tersebut dapat dipahami bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun-rukun khutbah jum’at harus disampaikan dengan bahasa arab, sehingga apabila disampaikan dengan selain bahasa arab (bahasa masyarakat setempat) dianggap tidak sah selama khotib mampu berbahasa Arab, karena khutbah yang disampaikan dengan selain bahasa arab dinilai sebagai laghwun (gurauan yang tidak mempunyai nilai).
Sedangkan “selain rukun khutbah”, ulama syafi’iyah menganggap boleh disampaikan dengan selain bahasa Arab selama pemisahan tersebut tidak panjang sehingga bisa memutus ketersambungan antara rukun-rukun khutbah (qoth’ul muwaalah) dan harus tetap pada prinsip mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah.
Karena praktek menerjemahkan rukun-rukun khutbah sudah menjadi kebiasaan di lingkungan masyarakat dan sudah menjadi tradisi baru yang sulit dihilangkan. Padahal hal tersebut tanpa disadari bisa mempengaruhi keabsahan shalat jum’at. Oleh karena itu penulis menghimbau, sebaiknya hal ini menjadi perhatian yang serius bagi para khotib agar lebih memahami bahwa larangan untuk menerjemahkan rukun-rukun khutbah bukanlah hal yang menyimpang. Melainkan justru yang sesuai dengan hadits nabi dan kitab-kitab salaf madzhab syafi’iyah. Sehingga apabila seorang khotib menerjemahkan rukun khutbah dengan alasan agar para jamaah yang hadir bisa memahami rukun-rukun khutbah, maka hal tersebut bukan merupakan alasan yang tepat bahkan justru menyalahi aturan yang ada. Karena pada prinsipnya rukun-rukun khutbah seharusnya di sampaikan dengan menggunakan bahasa arab walaupun jamaah yang hadir tidak memahaminya.
Atau terkadang beberapa orang menerjemahkan rukun-rukun khutbah beralasan karena mengikuti madzhab selain Imam Syafi’i sedangkan shalat jum’atnya tetap mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Maka hal tersebut justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu pencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq) dalam satu ibadah, yaitu khutbah dengan mengikuti madzhab lain dan shalat jum’at mengikuti madzhab imam syafi’i. Dalam hal ini penulis menghimbau hendaknya para khotib mempelajari dan memahami tentang tatacara berpindah madzhab, hukum-hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga tidak terjebak dengan praktek ibadah dengan mencampuradukkan pendapat antar madzhab (talfiq) yang ada dan tidak sesuai dengan kaidah.
Menurut sebagian ulama’, solusi dari permasalahan ini adalah, sebaiknya rukun-rukun khutbah tersebut diberi tafsiran kemudian tafsiran itu diterjemahkan menggunakan bahasa setempat (bahasa yang mudah difahami oleh jamaah yang hadir), sehingga terhindar dari penerjemahan rukun-rukun khutbah yang menurut pendapat mu’tamad (bisa dipakai pedoman) dianggap tidak boleh. Tentunya tetap harus memperhatikan bahwa pemisah (tafsiran dan terjemahannya) antara rukun khutbah yang satu dengan lainnya tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh, karena dapat merusak ketersambungan rukun-rukun khutbah (Qoth’ul Muwaalah).
Namun Abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jazairi dalam kitabnya menyatakan bahwa rukun-rukun khutbah yang disyaratkan menggunakan bahasa arab tersebut berlaku apabila disampaikan kepada orang arab (bukan ‘ajam). Sehingga apabila khutbah disampaikan kepada selain orang arab, maka rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa arab.
الشافعية قالوا : يشترط أن تكون أركان الخطبتين باللغة العربية فلا يكفي غير العربية متى أمكن تعلمها فإن لم يمكن خطب بغيرها هذا إذا كان القوم عربا أما إن كانوا عجما فإنه لا يشترط أداء أركانهما بالعربية مطلقا ولو أمكنه تعلمها ما عدا الآية فإنه لا بد أن ينطق بها بالعربية : إلا إذا عجز عن ذلك فإنه يأتي بدلها بذكر أو دعاء عربي فإن عجز عن هذا أيضا فعليه أن يقف بقدر قراءة الآية ولا يترجم وأما غير أركان الخطبة فلا يشترط لها العربية بل ذلك سنة
Menurut pengikut madzhab Syafi’i: rukun khutbah disyaratkan harus dengan bahasa Arab, maka tidak cukup tanpa bahasa Arab selagi ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab. Apabila  tidak ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab maka boleh berkhutbah dengan selain bahasa Arab. Ini berlaku bagi orang Arab. Adapun khutbah yang disampaikan kepada selain orang arab (‘ajami) maka rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan (secara mutlak) menggunakan bahasa arab, meskipun ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab kecuali ayat al Qur’an, karena ayat al Qur’an harus diucapkan dengan bahasa Arab. Kecuali apabila khotib tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab,  maka ia boleh menggantinya dengan peringatan/nasehat  atau atau do’a yang berbahasa Arab. Apabila khotib tidak mampu juga, maka ia harus diam kira-kita sepanjang ayat. Dan jangan menerjemahkan. Sedangkan selain rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan menggunakan bahasa arab, tetapi hukumnya sunnah.[4]


[1] Lihat : Al Fiqhul Manhaji  juz 1 hal. 206
[2] Lihat: Al-Hawasyil Madaniyah ‘ala Syarhi Bafadhal  juz 2 hal. 64
[3] Lihat : Al-Bujairimi  juz 1, hal.389
[4]  Lihat : al Fiqh ala Madzahibil Arba’ah juz 1 hal 608 Maktabah Syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar