mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 07 Juni 2011

Kebangunan Tasyri'


Periode kebangunan tasyri’
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.      Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab
3.      Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.

Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.
Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.
Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.
Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
  
Menghidupkan Ijtihad
Prioritas ijtihad akan terus menjadi sorotan dalam pergolakan pergerakan fikih, karena ijtihad menjadi barometer maju mundurnya fikih, yang menuntut adanya khazanah baru dalam merealisasikan spirit kreatif untuk mengantisipasi setiap problematika hukum namun di tuntut langsung dari sumbernya, dan juga dalam usaha menghasilkan hukum itu harus sesuai dengan kaidah-kaidah beristinbat.
Sesungguhnya hukum ilahi yang di cita-citkan itu bukan berarti fikih salah satu madzhab pada masa tertentu ,tetapi yang di maksud Qordhawi adalah kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang pokok yang telah di terapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan hidup di bawah naungan fikih yang subur sejak masa sahabat, kemudian generasi setelahnya yang di catat oleh kitab-kitab madzahib yang beraneka ragam dan kitab-kitab hadits serta fikih perbandingan madzhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini dari berbagai ijtihad modern manapun, tidak bisa diterima bahwa harus berijtihad lagi dari nol, tanpa menyandarkan yang baru kepada yang lama. Akan tetapi rincian-rincian fiqih ini tidak menjadi keharusan bagi kita kecuali berdasarkan dalil-dalil  syar’i yang kuat baik secara nash atau qaidah.
Terus bagaimana kita menghadapi kitab-kitab madzahib yang tentunya banyak menyajikan berbagai ijtihad yang tidak disertakan di dalamnya al-ra’yu al-rajih seperti banyak kita temukan dalam kitab bidayatul mujtahid karangan Ibnu Rusyd. Dalam hal ini Prof. Dr. Wahbah Zuhaely dalam bukunya Al-fiqhul al-islam wa adilatuhu mengatakan “jika tidak terdapat qoul rojih hendaknya mengutamakan pendapat jumhur karena banyaknya pendapat menunjukan kuatnya suatu qoul”. Disamping itu juga menurut Dr. Yusuf Qordhowi “salah satu minhaj dalam fariasi pendapat ini mengutuamakan tarjih dari sekian banyak pendapat tentunya sesuai dengan kekuatan dalilnya, beliau juga mengajak untuk membuka dalam kitab-kitab ushul fikih, karena qoa’id al-fikih merupakan  setandar dalam mengukur kekuatan pendapat diseputar permasalahan fikih agar tidak rancu, seperti memisahkan antara yang qat’i dan yang dzanni dan lain-lain.
Dalam kesempatan lain Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan, beliau lebih memilih metode fikihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah),toleransi (tasamuh), lintas madzhab dan selalu  menghendaki kemudahan bagi umat, serta mengakses penggalian hukum dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang paling kecil seperti masalah lalat yang hingap pada air, sampai masalah yang paling besar seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah negara’?, atau dari tema yang paling klasik seperti masalah thahârah, sampai yang paling kontemporer seperti masalah demokrasi, HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan pluralisme (ta’addudiyah).
Di dalam ijtihad fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi baru dalam memperlakukan fikih, terutama ketika ia berhadapan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Di antara formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh jadîd) yang akan dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat. Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan ‘fikih’, tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum-hukum juz’i yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai al-Fahm (pemahaman). Adapun fikih baru yang berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah fikih terdiri dari:
  1. Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah). Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan (muwâzanah) adalah sebuah  metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat atau antara kebaikan dan keburukan, karena menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen atau yang haram seratus persen.  Menurutnya, dengan menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan untuk mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
  2. Fikih realitas (Fiqh Wâqi’î). Yang dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.
  3. Fikih prioritas (Fiqh al-Aulawiyât). Yang dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagimana mendahulukan ushûl dari furû’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan yang lainnya, ilmu pengetahuan sebelum beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad.
  4.  Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah, yaitu  sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim yang mengatakan, bahwa prinsip utama yang menjadi dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian, segala sesuatu yang di dalamnya mengandung kelaliman, kekejian, kerusakan dan ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah syari’ah.
  5. Fikih perubahan (Fiqh al-Tagyîr). Ia adalah sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan tersebut.

Selain itu, kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam bidang fikih adalah bagaimana mencairkan kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman. Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan tersebut adalah berhentinya kreativitas umat dalam berijtihad yang merupakan dapur utama kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan umat selau berkembang, terutama setelah terjadinya inovasi-inovasi baru dalam  bidang sains dan teknologi, sementara seperti kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan hadits nabi, sampai kiamat mustahil akan bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan pada prinsip-prinsip utama ajaran Islam. Wallahu a’lam.
(Ditulis Oleh Abu Labiqoh)

Minggu, 05 Juni 2011

pengertian ilmu kalam


Ditulis Oleh :Ahmad Faruq Ardianto

  1. Pengertian Ilmu Kalam
Secara etimologi ilmu berarti pengetahuan, kalam berarti perkataan. Dalam perkembangannya, ilmu kalam digunakan sebagai ilmu yang membahas atau membicarakan akidah dalam Islam.
Menurut Syech Muhammad Abduh , Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang harus ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya, membicarakan tentang rasul-rasul, untuk menetapkan keputusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan kepada mereka dan sifat-sifat yang tidak boleh dipertautkan kepada mereka.
Sebutan ilmu kalam yang berdiri sendiri pertama kalinya dipakai pada masa Khalifah Al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 218 H, yakni setelah para ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang telah diterjemahkan pada waktu itu. Mereka memadukan metodenya dengan metode ilmu kalam. Sebelumnya para ulama menyebutnya dengan Al Fiqhu
sedangkan Imam Abu Hanifah menamakan bukunya tentang kepercayaan agama dengan judul Al Fiqhu Akbar.

  1. Alasan Dinamakan Ilmu kalam
    1. karena persoalan klamulloh merupaka persoalan yang diperdebatkan oleh para ulama pada abad ke-2 dan ke-3 hijriyah, yakni memperdebatkan apakah firman Allah itu  di ciptakan atau tidak, qadim atau hadits.
    2. kaena sebagian ulama dalam menjelaskan dan membela akidah islam dengan menggunakan metode al-kalam, ilmu logika (mantiq) yang biasa digunakan oleh para filosof.
    3. kerena pembicaraan mengenai akidah islam mulai diperdebatkan setelah masa rasulullah dan para sahabat, khulafaurrasidin atau tepatnya pada abad ke-2 H, maka masalah akidah banyak dibongkar dan menjadi bahan perdebatan yang sengit oleh para ulama.
    4. karena yang diperdebatkan adalah masalah yang terbatas pada pembicaraan, bukan pada pengamalan dan perbuatan.
Didalam dunia barat, pembicaraan mengenai akidah islam disebut dengan istilah teologi , sedangkan ilmu yang membicarakan akidah Islam disebut Teologi Islam.

  1. Nama Lain Ilmu Kalam
    1. Ilmu  Tauhid
Ilmu kalam dinamakan Ilmu Tauhid, sebab ruang lingkup pembahasannya berkaitan tentang kepercayaan dan keyakinan terhadap sifat wahdah ( Esa ) bagi Allah, keesaan Allah berpegang kepada ajaran yang dibawakan oleh para rasul-Nya.
    1. Ilmu Akidah
Adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan kepada Allah, para rasul, para malaikat, kitab-kitab Allah, hari akhir, dan keyakinan terhadap qadha dan qadar. Dinamakan ilmu akidah karena ilmu ini banyak membicarakan tentang keyakinan (aqidah).
    1. Ilmu Ushuluddin
Ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang membicarakan pokok-pokok (dasar-dasar) agama, yaitu keimanan,  dan keimanan merupakan pokok asasi dalam agama Islam.

  1. Fungsi Ilmu Kalam Bagi Umat Islam
    1. Untuk menjelaskan akidah Islam, memperkuat dan membelanya dari bahaya penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran rasulullah. Para mutakallim yang telah diberi kelebihan oleh Allah berupa kecerdasan berpikir dan kemampuan berbicara untuk menjelaskan akidah Islam agar bisa dipahami secara baik dan benar oleh masyarakat.
    2. Untuk menolak akidah yang sesat, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanan dari masa ke masa, akidah Islam ini apabila tidak dijaga dengan baik maka akan dikontaminasi dengan ajaran-ajaran atau kepercayaan lain yang menyusup atau memang sengaja disusupkan ke dalam Akidah Islamiyah. Untuk itu diperlukan upaya menjaga kemurnian, pemulihan atau pengembalian kepada akidah yang benar seperti yang dilakukan oleh para mutakallim (Ahlussunnah wal Jama’ah).





[1]alam akhirat juga mempunyai langit dan bumi tersendiri.

Filsafat Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Islam
Menurut bahasa, Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau “Failasuf” dalam ucapan Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.[1]
Dalam buku Filsafat Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa Philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha ; Philo berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya bijaksana yang artinya pandai, pengertian yang dalam. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak Dari berbagai sumber yang penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau philosophia terdiri dari dua kata seperti yang telah penulis uraikan di atas. Dengan demikian pengertian filsafat menurut bahasa ialah cinta pengetahuan atau kebijaksanaan.
Perkataan “filsafat” memang berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan oleh orang Arab dalam masa ke-emasan Islam, yang biasa dinamakan juga “zaman-terjemah”, yaitu antara tahun 878 – 950 M. Seperti yang dikatakan oleh al-Farabi seorang filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina, bahwa perkataan “filsafat” itu berasal dari bahasa Yunani, ia masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal ialah Philosophia, yang terdiri dari dua perkataan yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti hikma atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai seorang Philosophos (filosof) dalam pengertian seorang pencinta kebijaksanaan. Oleh karena itu kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu masdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia, menurut Prof. Dr. Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat philosophy . Di sini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat ?
            Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato (427 – 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates, menyatakan bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. Sementara Al Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata: “Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya”.
Sedangkan Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), seorang filosof Inggris mengemukakan: “Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan”.
Dari definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan filsafat antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.

B. Pangkal Filsafat Islam
Banyak kalangan yang telah salah faham tentang filsafat Islam, ia masih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit kajian metafisika. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah (kata pengantar dalam Wacana Baru Filsafat Islam:2003). Kajian filsafat masih banyak terfokus pada aspek historis tanpa ada perhatian berarti terhadap aspek metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi. Akibatnya –menurut saya- dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Yang dimaksud dengan filsafat Islam sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian panjang lebar tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam beserta tokoh-tokohnya, tapi lebih merupakan bahasan tentang proses berfikir. Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan 'proses' berfikir dan bukan sekedar 'produk' pemikiran. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain. Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah melakukan bunuh diri intelektual (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982)
Kelesuan berfikir dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan (Bunyah al Aql al Araby:1990). Karena itu kita tidak boleh lagi berpaling dan menghindar dari filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit untuk menjelaskan identitasnya dalam lingkungan dunia global.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Islam
Ruang lingkup kajian Filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, sedangkan objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia[2]. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak[3].  Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).

D.    Obyek Formal Dan Obyek Material Filsafat Islam
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali. “Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
            Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).
            Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
  1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang meliputi 3 persoalan pokok
1.        Hakekat Tuhan;
2.        Hakekat Alam dan
3.        Hakekat Manusia.



  1. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).[4]

E. Ontologi dalam Filsafat Islam
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuk. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.

F. Epistemologi dalam Filsafat Islam
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
1.    Logika:
filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal Budi atau Logika.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut Epistimologi dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik.

  1. Teori Pengetahuan: Antara Realisme dan Idealisme
a.      Realisme
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi.

b.      Idealisme
Aliran Idealisme/Spritualisme, yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Idealisme: adalah aliran filsafat yg menekankan „idea" (dunia roh) sebagai objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dgn hal2 yg bersifat lahiriah, tetapi harus berdasarkan prinsip kehorhanian (idea). Oleh sebab itu, Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.
  1. Teori Kebenaran :
a.      Teori korespondensi
Menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

b.      Teori konsistensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

c.       Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

d.      Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Pengetahuan rasional yang berdasarkan logika tidak hanya terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak hanya tertuju pada objek-objek tertentu. Gagasan rasionalistis dan positivistis cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang didapat secara refleksi. Pemikiran rasional cenderung bersifat solifistik dan subyektif. Adanya keterkaitan antara materi dengan non materi, dunia fisik dan non fisik ditolak secara logika. Apabila kerangka ini digunakan secara luas dan tak terbatas, maka manusia akan kehilangan cita rasa batiniahnya yang berfungsi pokok untuk menumbuhkan apa yang didambakan seluruh umat manusia yaitu kebahagiaan.

G. Aksiologi dalam Filsafat Islam
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah  berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?
H. Sistem Berpikir dalam Filsafat Islam
            Untuk mengetahui kebenaran, maka dalam filsafat islam menggunakan beberapa sistem antara lain adalah :
1.      Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuat manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaanNya
2.      Logika
merupakan cara untuk memusatkan diri pada sebuah kesimpulan dari penalaran ilmiah, yakni logika induktif dan logika deduktif.
3.      Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan dalam hal ini adalah mengacu pada pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadis-hadis yang mu’tabar.
4.      Kriteria Kebenaran
Kriteria tersebut disebut kriteria keherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar jjika bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar

I.     Pemikiran Filsafat Beberapa Tokoh Filosof Muslim di Dunia Barat
  1. Ibn Bajjah (1082-1138)
Mengkritik pembelaan al-Ghazali terhadap metode dzauqi atau ma’rifat sufistik sebagai jalan yang paling tepat untuk mencapai kebenaran agama dibanding akal.
  1. Ibn Rusyd (11261198 M). Ia mengarang buku Tahafut al-Tahafut (Hancurnya Kehancuran) sebagai jawaban terhadap berbagai kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kehancuran Filsafat). Ibn Rushd (1126-1198 M) muncul seabad lebih sesudah Ibn Sina dalam komunitas muslim Spanyol. Dalam filsafat ia dikenal sangat mengagumi Aristoteles. Dalam proyek intelektualnya ia berusaha membebaskan filsafat dari perangkap-perangkap penafsiran Neoplatonis semisal faham emanasi ciptaan dari Tuhan. Ia percaya bahwa ciptaan bersifat abadi dimana Tuhan senantiasa terlibat secara aktif dalam kehidupan manusia dengan pengetahuan-Nya yang serba meliputi. Ia percaya bahwa setelah kematian, ruh manusia bergabung kembali dengan Intelegensi Aktif universal. Jadi, keabadian jiwa terjadi bersama jiwa universal, bukan jiwa individual. Ia juga menolak ide tentang kehendak bebas. Kebenaran dipercayainya terdapat dalam berbagai tingkatan termasuk al-Qur’an yang menawarkan kebenaran kepada segala jenis individu dengan watak yang berbeda-beda dalam cara yang berbeda-beda pula. Bagi orang biasa misalnya, kata harfiah mungkin sudah cukup, tetapi bagi orang yang terdidik hal itu mungkin belum cukup, argumen-argumen persuasif bahkan demonstrasi rasional dibutuhkan. Pendiriannya ini disebut dengan doktrin kebenaran ganda. Doktrin itu pula yang dipakai menyerang pemikiran filsuf Persia al-Ghazali (1058-1111 M) yang mengembangkan metode-metode pencarian kebenaran yang lebih bersifat mistis. Sekalipun ia mengakui, seperti halnya Ibn Miskawaih, bahwa perbincangan filosofis tidak tepat bagi setiap orang. Terhadap tiga kritikan paling krusial dari al-Ghazali terhadap kaum filosof, Ibnu Rusyd memberi jawaban sebagai berikut: Pertama, ketika Tuhan menciptakan alam bukannya dari suatu ketiadaan, tetapi ketika itu telah ada sesuatu di samping-Nya yang berupa materi dasar sebagai bahan penciptaan sebagaimana ditunjukkan oleh surat Hud ayat 7, Ha Mim ayat 11 dan alAnbia’ ayat 30. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan. Di samping itu, kata khalaqa di dalam alQur’an juga menggambarkan penciptaan bukan dari “tiada” (creatio ex nihilo), tetapi dari “ada” (misalnya surat al-Mu’minun ayat 12 tentang penciptaan manusia). Menurutnya “tiada” tidak bisa berubah menjadi “ada”, tetapi yang tepat adalah “ada” menjadi “ada” dalam bentuk lain. Sementara tentang keazalian alam yang dimaksud para filsuf adalah merujuk pada pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman tak bermula dengan bahan dasar yang telah ada di sisi Tuhan sampai zaman tak berakhir (baca surah Ibrahim ayat 47-48). Kedua, mengenai pernyataan al-Ghazali bahwa para filsuf berpendapat Tuhan tidak mengetahui perincian (juz’iyat) yang terjadi di alam, Ibn Rusyd membantah bahwa pernah ada filsuf Islam yang mengatakan demikian. Sebenarnya, yang dibahas para filsuf adalah tentang bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Ulasan tentang emanasi wujud di atas kiranya cukup menjelaskan persoalan ini dari kacamata filsuf. Ketiga, terkait dengan tuduhan bahwa para filsuf menentang ajaran kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filsuf muslim tak menyebutkan hal itu (Coba baca kembali ulasan dimuka tentang jiwa dari Ibnu Sina). Ibnu Rusyd kemudian balik mengkritik inkonsistensi pemikiran al-Ghazali. Sebab, dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya kebangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lainnya ia mengatakan jika di kalangan sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah kebangkitan rohani. Dari sini Ibnu Rusyd menilai bahwa al-Ghazali juga tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan para filsuf. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Barat mengalami kemunduran besar di bidang pemikiran rasional dan ilmiah seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol. Sementara umat Islam di Timur, pemikiran keagamaannya lebih dikuasai teologi tradisional Asy’ariyah dan tasawuf yang kurang memberi ruang leluasa bagi pengembangan pemikiran rasional. Hingga datang abad XIX dimana umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Barat Kristen dalam bidang pemikiran, filsafat dan sains atas pengaruh metode berfikir rasional Ibn Rusyd yang disebut averroism. Semenjak itulah ada upaya kebangkitan untuk menghidupkan kembali pengkajian filsafat dan pemikiran rasional di kalangan umat Islam.
.
J. Pemikiran Filsafat Beberapa Tokoh Filosof Muslim di Dunia Timur
  1. Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Sabah al-Kindi (796- 873 M). Selain filsuf, lelaki berdarah Arab ini dikenal juga sebagai seorang tabib dan astronom terkemuka. Orang tuanya pernah menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa pemerintahan Abbasiyah. Al-Kindi tumbuh dalam situasa zaman yang penuh dengan pertentangan agama dan mazhab. Ia merupakan salah satu tokoh pelopor dalam penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani maupun India kedalam bahasa Arab. Dari berbagai tulisan tampak bahwa corak pemikirannya bersifat eklektik, yakni memadukan berbagai aliran pemikiran yang beragam. Sumbangan terbesar al-Kindi dalam bidang filsafat dan teologi ini sebenarnya adalah keberaniannya untuk mengasimilasi berbagai konsep-konsep dan metode-metode pengetahuan yang selama ini dianggap asing dan enggan dikaji oleh tokoh agama pada masanya kedalam bangun pengetahuan Islam. Jadi, pada tingkatan tertentu ia telah mengawali suatu usaha mempertemukan antara filsafat dan agama. Baginya, “Filsuf adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya, yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil.” Jadi, filsafat baginya mencakup teori sekaligus praktek. Di bidang metafisika atau filsafat-pertama, al-Kindi mengembangkan pemikiran tentang
    1. Kebenaran Pertama (First Verum atau al-Haq al-Awwal), yaitu Tuhan Pencipta alam semesta yang dibuktikannya melalui penalaran filosofis menjadi Sebab Pertama (first causa) bagi tiap-tiap kebenaran yang ada. Hakikat ilahiah Allah memustahilkan manusia untuk memahami-Nya sepenuhnya. Teknik metodologis yang dipakai untuk mengulas hal ini sering memakai pelukisan mirip via negativa-nya Philo. Tuhan dijelaskannya sebagai keesaan mutlak yang bersifat azali dalam dzat dan sifatnya, tidak berjisim, tidak bergerak tapi menggerakkan (Immovable Mover, Ex Machina), bukan benda, bukan bentuk (form), bukan pula kejadian (accident atau aradl), dan tidak dapat tersifati dengan sebenarnya oleh kemampuan pikiran manusia. Orientasi pemikirannya dalam hal ini tampaknya berusaha untuk memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-Kindi sepenuhnya mengakui bahwa akal memiliki keterbatasan, karena itu ia dikenal menerima secara imani beberapa konsep tertentu seperti mukjizat dan takdir. Baginya, Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent). Kepelakuan (agency) tindakan manusia hanya bersifat sekunder dan metaforis karena eksistensi makhluk sesungguhnya terjadi karena ada kekuatan dari kehendak Allah. Sementara itu, al-Kindi memahami bahwa alam diciptakan dan karenanya tidak bersifat abadi. Ini menolak tesis Plotinus yang menyatakan bahwa alam abadi bersama Tuhan. Tetapi di sisi lain ia masih bisa bersepakat dengan Plotinus, bahwa semua ciptaan (termasuk pikiran manusia) terjadi melalui serangkaian emanasi dari pangkal sumber yang sama yaitu kesatuan ilahi.
    2. Al-Kindi juga mengembangkan pemikiran tentang jiwa dan akal. Menurutnya, akal dan jiwa adalah dua hal yang berbeda. Akal yang dimaksudkannya disini adalah akal murni atau intellect par excellence. Ia terpisah dari jiwa dan keadaannya pun berbeda. Ia selalu bertindak dan tindakannya itu tidak dapat dicapai dengan perasaan. Adapun jiwa terdiri dari tiga akal lainnya. Pertama adalah akal dalam bentuk potensi semata.Yang kedua adalah akal yang mempunyai pengetahuan. Sedangkan akal ketiga adalah akal yang selalu tampil dan muncul mengerjakan pekerjaan berfikir.

  1. Al-Razi (856-+925 M), seorang lelaki berdarah Persia yang memandang filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, baik pengetahuan maupun perilaku. Ia berani melukiskan kehidupan filosofis sebagai kehidupan “mirip Tuhan”. Filsafat baginya bukanlah sekedar hobi, pengisi waktu luang atau serangkaian teka-teki yang dipecahkan sambil menjalankan bagian lain kehidupan. Tokoh ini lebih memandang istimewa pada sosok Plato sebagai “guru” filsafatnya.
    1. Ia percaya bahwa akal adalah piranti untuk menentukan kebenaran yang utama. Jika saja ada akal yang bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus ditundukkan kepada akal. Ia percaya, orang awam mampu mengetahui kebenaran vis a vis pandangan ortodoksi Islam yang menganggap bahwa nabi memiliki wawasan istimewa.
    2. Ia juga menolak pemahaman penciptaan alam yang diterima al-Kindi, yaitu tentang misteri abad
    3. Lebih mempercayai pandangan bahwa dunia memang diciptakan oleh Allah, tetapi bukan dari ketiadaan. Allah menciptakan dunia ini dari materi yang telah ada sebelumnya untuk kemudian dijadikan suatu bentukan baru menjadi dunia.

BAB III
P E N U T U P

Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkakn menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1.      Pada dasarnya pengertian filsafat ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya.
2.      Filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi berbagai ilmu pengatahuan lainnya.
3.      Sistem berpikir dalam filsafat islam lebih mengedepankan akal, logika, sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran.
4.      pemikiran filsafat semakin berkembang dengan adanya beberapa filosof islam barat maupun timur yang memiliki ide, gagasan yang bernilai dan bermanfaat bagi perkembangan kemajuan pemikiran islam.
5.      dll













DAFTAR PUSTAKA

Ø      H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1991
Ø      Hafizh, anshari. 1993. Ensiklopedi Islam . Jakatra : PT. Ichtiar baru Van Hoeve Departemen Agama RI, Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Pendidikan Dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru dan Pengawas, Terbitan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam. Jakarta. 1998/1999
Ø      Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990),
Ø       Muhammad Arkoun, Naz’at al-Ansanah fi al-Fikr al-Arabi, Dar al-Saqi, Beirut, Libanon, 1978


[1]A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), Cet. ke-5, h. 3
[2] H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-9, h. 82-83
[3] H. Endang Saefuddin Anshari, MA, op. cit, h. 87
[4] Ibid, h. 87-88


(Ditulis Oleh Ahmad Faruq Ardianto)

Pancasila dalam konteks perjuangan

BAB I
PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

A.     Dinamika Aktualisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini, sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Kita sering mengalami kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adalah dengan mengadakan reinterpretasi dan rekonstruksi. Baik terhadap substansi masing-masing sila maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lainnya. Hal ini perlu dilakukan  untuk memprjelas substansi etika dan moral budaya bangsa dalam berpolitik, mengatur perekonomian, hubungan-hubungan sosial, dan berbagai lapangan perjuangan. Bahkan belakangan ini, banyak kalangan, khususnya para tokoh bangsa, membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan kondisi bangsa saat ini..
Bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya pancasila merupakan kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara yang secara simbolik mempresentasikan kemajmukan seluruh rakyat Indonesia dalam proses pembentukan sebuah negaranasional di indonesia yang didalamnya memuat norma-norma dasar (grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara, pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diikat oleh lima butir dasar negara.
Sesuai dengan asas negara hukum, norma dasar ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam UU serta kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh seluruh aparatur negara dibawah pimpinan presiden.
Sesuai dengan asas kedaulatan rakyat, penindaklanjutan dan pelaksanaannya, maka seluruh rakyat Indonesia berhak untuk ikut serta di dengar suara, aspirasi dan kepentingannya. Dalam hal ini rakyat tidak hanya diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak diatas, dapat disimpulkan bahwa kita dapat mengaktualisasikan pancasila secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara dengan langkah sebagai berikut :
Pertama, perlu kita sadari bahwa masing-masing dari lima sila ini tidak berada dalam satu kategori yang sama. Dalam terminologi instrumen HAM dewasa ini, substansi yang terkandung dalam Sila Pertama adalah disifatkan sebagai non derogeble right (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun dan dalam keadaan apapun). Dalam hal ini Negara bukan saja tidak dapat mencampuri hak atas kebebasan beragama, namun juga harus melindungi setiap rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa adanya diskriminasi apapun juga.
Makna yang terkandung dalamm sila ini antara lain adalah :
  1. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3.      Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
4.      Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradap dapat dimaknai sebagai pengakuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang menurut piagam PBB diartikan sebagai common standards of achievements all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama (yang harus diwujudkan ) oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sehingga selain harus memahami instrumen hukum nasional HAM, seluruh rakyat harus pro aktif dalam menikdaklanjutinya sesuai dengan bidangnya masing-masing.. Karena pelaksanaannya pada dasarnya tidak akan menemui banyak kesulitan dalam penegakannya. Apalagi sejak tahun 1993 telah dibentuk komisi nasional HAM.
Makna yang terkandung dalamm sila ini antara lain adalah :
  1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Ketiga, persatuan indonesia Persatuan Indonesia, merupakan konfirmasi terhadap semangat hari kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme). Untuk membangun masa depan bersama dalam suatu Negara, apapun bentuk dan sistem pemerintahannya. Dalam fakta sejarah, Indonesia pernah menguji coba sistem pemerintahan federal, presidensial dan parlementer, tatanan yang amat sentralistik maupun yang disentralistik. Namun dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara kesatuan Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungannya dengan kemajemukan rakyat indonesia, pada tahun 1950-an, sesanti “Bhinneka Tunggal Ika” dalam lambang negara yang merupakan suatu penggalan dari kalimat Yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma” (walau berbeda-beda namun tetap satu jua).
Frasa yang sekarang ini tercantum dalam pasal 36A UUD ’45 yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.702 etnik di Indonesia. Menurut sensus tahun 2000 (Suryadinata,2003) secara implisif pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, ras juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat.
  1. Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Rela berkorban demi bangsa dan negara.
  3. Cinta akan Tanah Air.
  4. Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan, hali ini merujuk papa proses dan mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat demokratis.asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang dimanifestasikan dalam pemilu berkala. Dalam The International Covenant of Civil and Political Right 1966 yang telah diratifikasi sebagai UU no.11 tahun 2005 tentang hak sipil dan politik bahwa Republik Indonesia mengadakan reserfasi terhadap hak menentukan nasib sendiri tercantum dalam pasal 1 kovenant tersebut, yang biasa disalah artikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
1.      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2.      Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3.      Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
4.      Berembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apapun makna filsafat yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh presiden.
  1. Bersikap adil terhadap sesama.
  2. Menghormati hak-hak orang lain.
  3. Menolong sesama.
  4. Menghargai orang lain.
  5. Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.

Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sebenarnya sudah mempunyai sedemikian banyak perangkat lunak, baik dalam biodang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindak lanjuti pancasila itu kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara

B.    Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
Orde baru berhasil meletakkan dasar bagi kemurnian pelaksaan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 secara nyata, konsekuen, dan dinamis, yang meliputi penataan supra struktur politik, infrastruktur politik, dan pengembangan budaya politik serta mekanisme demokrasi pancasila.
Peranan ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik telah dibukukan sebagai modal dasar maupun kekuatan yang efektif sehingga stabilitas nasional dapat tercipta secara sehat dan dinamis.
Untuk mewujudkan cita-cita orde baru, MPR dalam ketetapan no.II/MPR/1978 telah menetapkan “ Eka Prasetya Panca Karsa “ sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) sehingga dapat dijadikan penuntun dan pegangan bagi sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia dalam mengaktualisasikan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1983 secara konstitusional menegaskan dan menetapkan bahwa pancasila sebagai idiologi negara dan asa tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian, melalui UU no.3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya, pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan golongan karya. Selanjutnya, UU no.8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan telah menetapkan pula bahwa pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan dengan tidak menghilangkan ciri dari masing-masing organisasi kemasyarakatan tersebut.
Pancasila sebagai nilai dasar yang mengandung sejumlah aturan pokok kehidupan politik nasional dijabarkan secara kreatif dan dinamis menjadi nilai instrumental kedalam sisten nasional yang terdiri dari sejumlah subsistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Komunikasi politik baik vertikal maupun horisontal, khususnya komunikasi timbal balik antara supra dan infrastruktur politik telah semakin meningkat dan berkembang. Dalam kaitan ini peranan organisasi politik berfungsi sebagai wadah penampung dan penyalur aspirasi rakyat. Pemilu telah dilaksanakan beberapa kali secara tepat waktu dan makin meningkat kualitasnya, kualitas kampanye semakin meningkat, kampanye yang bersifat primordial secara bertahap telah digantikan dengan kampanye yang lebih menawarkan program-program pembangunan secara rasional, kondisi demikian ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, organisasi sosial politik, organisasi kemasyarakatan dan peran serta masyarakat dalam proses kehidupan politik semakin meningkat.
Dengan demikian, mekanisme pelaksaan demokrasi pancasila semakin jelas menampakkan wujudnya. Mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunanpun telah berjalan secara teratur, dinamis, dan konstitusional. Perkembangan tersebut telah menciptakan iklim keterbukaan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan demokrasi pancasila

(Ditulis Oleh Ahmad Faruq Ardianto)