mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 07 Juni 2011

Kebangunan Tasyri'


Periode kebangunan tasyri’
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.      Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab
3.      Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.

Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.
Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.
Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.
Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
  
Menghidupkan Ijtihad
Prioritas ijtihad akan terus menjadi sorotan dalam pergolakan pergerakan fikih, karena ijtihad menjadi barometer maju mundurnya fikih, yang menuntut adanya khazanah baru dalam merealisasikan spirit kreatif untuk mengantisipasi setiap problematika hukum namun di tuntut langsung dari sumbernya, dan juga dalam usaha menghasilkan hukum itu harus sesuai dengan kaidah-kaidah beristinbat.
Sesungguhnya hukum ilahi yang di cita-citkan itu bukan berarti fikih salah satu madzhab pada masa tertentu ,tetapi yang di maksud Qordhawi adalah kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang pokok yang telah di terapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan hidup di bawah naungan fikih yang subur sejak masa sahabat, kemudian generasi setelahnya yang di catat oleh kitab-kitab madzahib yang beraneka ragam dan kitab-kitab hadits serta fikih perbandingan madzhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini dari berbagai ijtihad modern manapun, tidak bisa diterima bahwa harus berijtihad lagi dari nol, tanpa menyandarkan yang baru kepada yang lama. Akan tetapi rincian-rincian fiqih ini tidak menjadi keharusan bagi kita kecuali berdasarkan dalil-dalil  syar’i yang kuat baik secara nash atau qaidah.
Terus bagaimana kita menghadapi kitab-kitab madzahib yang tentunya banyak menyajikan berbagai ijtihad yang tidak disertakan di dalamnya al-ra’yu al-rajih seperti banyak kita temukan dalam kitab bidayatul mujtahid karangan Ibnu Rusyd. Dalam hal ini Prof. Dr. Wahbah Zuhaely dalam bukunya Al-fiqhul al-islam wa adilatuhu mengatakan “jika tidak terdapat qoul rojih hendaknya mengutamakan pendapat jumhur karena banyaknya pendapat menunjukan kuatnya suatu qoul”. Disamping itu juga menurut Dr. Yusuf Qordhowi “salah satu minhaj dalam fariasi pendapat ini mengutuamakan tarjih dari sekian banyak pendapat tentunya sesuai dengan kekuatan dalilnya, beliau juga mengajak untuk membuka dalam kitab-kitab ushul fikih, karena qoa’id al-fikih merupakan  setandar dalam mengukur kekuatan pendapat diseputar permasalahan fikih agar tidak rancu, seperti memisahkan antara yang qat’i dan yang dzanni dan lain-lain.
Dalam kesempatan lain Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan, beliau lebih memilih metode fikihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah),toleransi (tasamuh), lintas madzhab dan selalu  menghendaki kemudahan bagi umat, serta mengakses penggalian hukum dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang paling kecil seperti masalah lalat yang hingap pada air, sampai masalah yang paling besar seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah negara’?, atau dari tema yang paling klasik seperti masalah thahârah, sampai yang paling kontemporer seperti masalah demokrasi, HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan pluralisme (ta’addudiyah).
Di dalam ijtihad fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi baru dalam memperlakukan fikih, terutama ketika ia berhadapan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Di antara formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh jadîd) yang akan dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat. Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan ‘fikih’, tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum-hukum juz’i yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai al-Fahm (pemahaman). Adapun fikih baru yang berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah fikih terdiri dari:
  1. Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah). Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan (muwâzanah) adalah sebuah  metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat atau antara kebaikan dan keburukan, karena menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen atau yang haram seratus persen.  Menurutnya, dengan menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan untuk mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
  2. Fikih realitas (Fiqh Wâqi’î). Yang dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.
  3. Fikih prioritas (Fiqh al-Aulawiyât). Yang dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagimana mendahulukan ushûl dari furû’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan yang lainnya, ilmu pengetahuan sebelum beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad.
  4.  Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah, yaitu  sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim yang mengatakan, bahwa prinsip utama yang menjadi dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian, segala sesuatu yang di dalamnya mengandung kelaliman, kekejian, kerusakan dan ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah syari’ah.
  5. Fikih perubahan (Fiqh al-Tagyîr). Ia adalah sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan tersebut.

Selain itu, kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam bidang fikih adalah bagaimana mencairkan kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman. Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan tersebut adalah berhentinya kreativitas umat dalam berijtihad yang merupakan dapur utama kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan umat selau berkembang, terutama setelah terjadinya inovasi-inovasi baru dalam  bidang sains dan teknologi, sementara seperti kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan hadits nabi, sampai kiamat mustahil akan bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan pada prinsip-prinsip utama ajaran Islam. Wallahu a’lam.
(Ditulis Oleh Abu Labiqoh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar