mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Minggu, 05 Juni 2011

Pengertian hadis

Ditulis Oleh : Ahmad Faruq Ardianto

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para sahabat, tabi`in (generasi stlah sahabat), dan tabi`ut-tabi`in (generasi stl tabi'in) sangat perhatian dalam menjaga hadis-hadis Nabi shallallahu `alaihi wasallam dan periwayatannya dari generasi ke generasi yang lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Artinya :
Telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian (Al-Ahzab : 21)
Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar hadis dari kami lalu menghafal hingga menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang uang lebih faham daripadanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti" (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, ia berkata, "hadis ini hasan").
Maka periwayatan hadis masih tetap menjadi suatu kemuliaan bagi para sahabat dan para pendahulu kita demi menjaga warisan Nabi, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap pendahulu, mereka menolak penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, anutan orang-orang yang batil, dan penakwilan orang-orang yang bodoh" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad, dan at-Tirmidzi, ia berkata "ini hadis hasan shahih")
Diriwayatkan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah hadis dari 'Uqbah bin 'Amir. (Diriwayatkan Ibnu Abdil-Barr) Para tabi`in dan para pengikutnya tidak kalah tamaknya dalam mencari hadis dari para sahabat. Majelis mereka dipenuhi dengan hadis Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.  Mereka rela menanggung kesusahan dan kesulitan, serta menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkannya. Said bin al-Musayyib berkata, "Untuk mendapatkan satu hadis, aku rela menempuh beberapa hari perjalanan siang dan malam" (Diriwayatkan ar-Ramahurmuzi).
Asy-Sya`bi menceritakan sebuah hadis kepada seseorang lalu berkata kepadanya, "Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah"

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat direumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Apa pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar ?
  2. Apa perbedaan Hadis Qudsi dengan ayat Al-Qur’an ?
  3. Apa saja bentuk-bentuk Hadis ?
  4. Apa saja macam-macam ilmu hadis dan cabang-cabangnya ?
  5. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al-Qur’an ?
  6. Bagaimana sejarang singkat kodifikasi Hadis?
  7. Apa saja unsur-unsur hadis ?
  8. Apa saja macam-macam Hadis dari segi kualitasnya ?
  9. Apa saja macam-macam Hadis dari segi kuantitasnya ?
  10. Bagaimana metode penelitian Sanad dan Matan Hadis ?












BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Sunnah Khabar Dan Atsar
1.      Hadis
Dari segi bahasa berarti yang baru, yang dekat, warta berita. Sedangkan pengertian hdis menurut istilah ahli hadis adalah:
اقوال النبى ص.م. وافعاله واقواله
Artinya : Segala ucapan nabi muhammad, perbuatan dan keadaan  atau perilaku nabi.
Dalam hal ini maksud hadis lebih mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah

2.      Sunnah
Sunnah dari segi bahasa berarti
الطريقة المعتادة حسنة كانت ام سيئة
Artinya : Jalan atau cara yang biasa ditempuh, baik bersifat terpuji maupun tercela
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda: “
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينفص من أجورهم شيئا ومن سن سنة فى الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من غير أن ينقص شيء من أوزارهم شيئ
Barangsiapa yang membuat tradisi perbuatan baik dalam Islam maka baginya satu pahala dan pahala setiap orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat tradisi kejahatan dalam Islam maka baginya satu dosa dan dosa setiap orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa -dosa mereka itu.”

Sedangkan pengertian sunnah menurut istilah adalah
ما نقل عن النبى ص.م. من أقوال وأفعال او تقرير
Segala yang dinukil/diriwayatkan dari nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan)beliau.

3.      Khabar
Dari segi bahasa khabar berarti berita/warta yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Sedangkan khabar menurut istilah adalah :
Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari nabi atau dari yang selain nabi.

4.      Astar
Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Dan berarti pula nukilan/ berasal dari nabi dinamakan do’a ma’tsur.
Menurut istilah, kebanyakan ulama berpendapat bahwa atsar mempunyai pengertian sepert khabar. Namun pera fuqoha memakai istilah atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in.

B. Perbedaan Hadist Qudsi Dan Ayat Al-Qur’an
1. Pengertian Hadis Qudsi
Menurut bahasa, Al-Quds berarti اَلطَّهَارَةُ وَالتَّنْـزِيْهُ (suci dan bersih). Istilah hadis Qudsi juga biasa disebut hadis Rabbani atau hadis Ilahi, sebab dinisbahkan langsung kepada Allah. Menurut istilah, hadis Qudsi ialah:
ماأخبر الله نبيه بالإلهام او بالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم من ذلك المعنى بعبارة نفسه
Sesuatu yang diinformasikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. melalui ilham atau mimpi, lalu beliau menyampaikan makna tersebut dengan ungkapan bahasa beliau sendiri.
Beberapa tanda hadis Qudsi, di antaranya dalam teks terdapat kalimat:
قَالَ اللهُ ....
يَقُوْلُ اللهُ عز وجلّ
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنِ الله تبارك وتعالى ...
Atauterkadang menggunakan kata-kata lain yang semakna dengan itu.
Contoh hadis Qudsi:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال, يقول الله عز وجل اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: "Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang memberinya balasan. (HR. Bukhari).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَرْوِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عَشْرًا إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ أَوْ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُضَاعِفَ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً رواه أحمد)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW. yang meriwayatkannya dari Tuhannya Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan kejahatan. Barangsiapa yang merencanakan akan melakukan kebaikan, namun belum sempat melakukannya, maka Allah tetap mencatat baginya sebagai kebaikan sempurna. Kalau ia sempat melakukannya, Allah akan mencatat baginya sepuluh hingga 700 kali lipat atau lebih bahkan Allah melipatgandakan sesuai yang dikehendaki. Barangsiapa yang merencanakan akan melakukan kejahatan, namun belum sempat melakukannya, Allah akan mencatat baginya sebagai suatu kebaikan sempurna. Kalau benar-benar melakukan kejahatan, Allah akan mencatatnya satu kejahatan. (HR. Ahmad).
Berdasarkan pengertian hadis Qudsi tersebut di atas maka hadis Qudsi itu adalah firman Allah, namun demikian hadis Qudsi tidak sama dengan al-Qur'an.

2. Pengertian Al-Qur’an
Secara terminologi, al-qur’an berarti bacan atau yang dibaca (المقروء). Pengertian inisesuai dengan firman allah dalam surat al-qiyamah ayat 17-18 :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Dari segi istilah, para ulama telah banyak memberi pengertian yang berbeda-beda dan saling melengkapi antara lain Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqoni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut :
القرآن هو المعجز المنزل على النبى ص.م. المكتوب فى المصاحف المنقول عليه بالتواتر المتعبد بتلاوته

3. Perbedaan Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an
Perbedaan antara hadis Qudsi dengan al-Qur'an, ialah:
1.      Al-Qur'an adalah wahyu yang lafal dan maknanya dari Allah, sedang hadis Qudsi adalah wahyu dari Allah, namun lafal atau redaksinya dari Nabi SAW. sendiri.
2.      Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. melalui malaikat Jibril, sedangkan hadis Qudsi juga wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi SAW. melalui ilham atau mimpi.
3.      Al-Qur'an adalah mu'jizat dan diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis Qudsi, belum tentu demikian.
4.      Setiap huruf dari Al-Qur'an yang dibaca akan mendapatkan pahala, sedang membaca hadis Qudsi, tidak ada ketentuan demikian.
5.      Al-Qur’an itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
6.      Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
7.      Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir.

C. BENTUK-BENTUK HADITS
Sesuai dengan pengertiannya Hadits atau Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam :
1.  Hadits Qauli
Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW :
"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim)

2.   Hadits Fi’li
Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi SAW, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata :
“Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)

3.   Hadits Taqriri
Hadits yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW.
Contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ;
Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)

D. Macam-Macam Ilmu Hadis Dan Cabang-Cabangnya
Diantara ulama ada yang menggunakan sejarah ilmu hadsit, Ilmu Usul Al Hadist atau Ilmu Musthalah Hadist. Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian ;
1.      Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir.


2.      Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist.

E. Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1.      Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
 “Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al-Baqarah/2:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : “Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan Shalat , membayar Zakat , puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji ke Baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
2.      Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
3.      Hadits membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an .Misalnya Al-Qur`an mensyariatkan wasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al-Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
4.      Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
5.       Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)

F. Sejarah Singkat Kodifikasi Hadis
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah Al-Qurâ’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni Al-Quran. Sedangkan Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Proses kodifikasi hadits atau Tadwiin Al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW.[1]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saâd bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. [2]


G. Unsur-Unsur Yang Terkandung Dalam Hadis Adalah :
1.  Sanad
Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat menyambungkan matnul hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.

2.  Matan
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-Bari’.
ما ينتهى إليه السند من الكلام
Yang di sebut dengan matnul hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita setelah sanad terakhir disebutkan. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi.7 Misalnya, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits tersebut.

3.  Rowi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya) seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada akhir matnul hadis.
.
H. Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Seggi Kualitasnya
Adapun Mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kualitasnya adalah sebagai berikut:
1.      Hadis Shahih
Ibn al-Shalah merumuskan bahwa Hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya bersambung, dinwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabith dan orang yang berwatak seperti itu juga sampai puncaknya, hadis mana tidak syadz dan tidak pula mengandung cacat.
Definisi itu kemudian diringkas oleh Imam al-Nawawi, sebagaimana  dikutip oleh al-Suyuthi, hadis sahih adalah Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.

2.      Hadis Hasan
Yang dimaksud  dengan hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dari awal hingga akhir, para periwayatnya bersifat adil namun kdabitannya tidak mencapai derajat sahih, serta terhindar dari kejanggalan (syaz) dan cacat (illat). Perbedaan pokok antara hadis sahih dan hadis hasan dala hal ini adalah pada kedabitan periwayat. Pada hadis sahih, kualifikasi kedabitan periwayat bertingkat sempurna, sedang pada hadis hasan kedabitan periwayat itu kurang sdikit, namun kekurangannya itu tidak sampai menjadikan hadis yang diriwayatkannya berkualitas lemah. Kualifikasi kedabitan seperti itu dalam ilmu hadis diberi istilah khafifud-dabt.

3.      Hadis Dha’if
Yang dimaksud hadis da’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluuh syarat hadis sahih atau hasan., misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pen-dusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadis Hasan itu dapat naik tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih. Yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama Hadis. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal berdusta. Kemudian, hadis ini dikuatkan oleh hadis yang sama melalui jalur lain
Hadis yang dha’ifhya disebabkan oleh hal di atas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil fadha^ilul a’mal. Adapun hadis dha’if jenis lain tidak dibenarkan untuk dalil keagamaan karena kadar kedhaifan-nya tinggi. Dha’if seperti ini juga tidak dapat naik derajatnya men­jadi hasan lighairih.

I. Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad.
1.      Pengertian Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawatir, yaitu sebagai berikut :
·        Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
·        Mustahil Bersepakat Bohong
·        Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra

2.      Pengertian Hadis Ahad
Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: Hadist Ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.

J. Metode Penelitian Sanad Hadis Dan Matan Hadis
Pengertian kata “Metode” menurut Suparlan Suhartono adalah suatu proses yang sistematik berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin untuk suatu tujuan.[3]
Dengan pengertian bahwa motode tersebut adalah metode yang digunakan para ulama kritikus hadis dalam melakukan tolok-ukur sebagai kritik matan hadis dengan menguji kualitas sanadnya.
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dijustifikasi dengan jelas dari berbagai firman Allah, sabda Nabi dan tradisi khulafa ar-Rasyidin, sunnah diposisikan sebagai interpretasi firman Allah. Namun, disisi keurgensiannya hadits sebagai sumber hukum Islam. Hadits atau sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan kesatuan umat Islam.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalil hadits. Tetapi, karena ilmu ini memiliki ciri dan spesifikasi yang agak unik, maka ilmu ini berdiri sendiri. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi. Kredibilitas perawi hadits akan terukur jelas.
Untuk menghimpun hadits-hadits itu diperlukan kerangka ketelitian yang sangat tinggi, berupa kerangka ontologis (isi), epistemologis (cara) dan aksiologis (tujuan) yang akurat, agar yang dinamakan hadits itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Langkah awal para ulama dalam menetapkan kesahihan dan kelemahan suatu hadits adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan hadits. Objek terpenting dalam penelitian hadits itu terhadap sejumlah periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits (kualitas matan).










BAB III
P E N U T U P

Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkakn menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1.      Pengertian Hadis adalah Segala ucapan nabi Muhammad, perbuatan dan keadaan  atau perilaku nabi.
2.      Letak perbedaan antara hadis Qudsi dengan Al-Qur’an antara lain pada :  Al-Qur'an adalah wahyu yang lafal dan maknanya dari Allah, sedang hadis Qudsi adalah wahyu dari Allah, namun lafal atau redaksinya dari Nabi SAW. Sendiri
3.      Bentuk hadis itu adakalanya Qouli, Fi’li dan Taqriri
4.      Hadis berfungsi sebagai penjelasan dari hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat mujmal (global)
5.      Hadits atau Sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan kesatuan umat Islam.















DAFTAR PUSTAKA

Ø      Al-Qur’an Al-Karim, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Ø      Shahih bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Ø      Arbain Nawawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Ø      Hafizh, anshari. 1993. Ensiklopedi Islam . Jakatra : PT. Ichtiar baru Van Hoeve Departemen Agama RI, Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Pendidikan Dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru dan Pengawas, Terbitan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam. Jakarta. 1998/1999
Ø      Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ø      As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ø      Abdul Aziz, , Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas  III, Wicaksana. Semarang, 1994




[1] Shahih al-Bukhari, Juz I. hal
[2] Azami, Muhammad Musthafa., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994

[3] Suprlan Suhartono, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Ujung Pandang: PPS Universitas Hasanuddin, 1998) h. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar