mantiq-sullamul munauroq

makalah fiqih,tafsir, hadis dll

Selasa, 28 Juli 2020


PERNIKAHAN WANITA YANG TELAH HAMIL DILUAR NIKAH
oleh : Ahmad Faruq Ardianto

Perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi menikahi perempuan hamil di luar nikah tetap sah. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
Artinya: "Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."

Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut agama dan hukum. Sedangkan status hukum bagi anak yang dilahirkan  di luar ikatan perkawinan yang sah menurut agama adalah sebagai berikut :
  1. Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja.
  2. jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada perincian:
a.       Jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya.
b.      Jika lahir kurang dari 6 bulan (dari akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.

Keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut:
فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Artinya, “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai  persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya,”[1]
(قال الشافعى) رحمه الله تعالى وإذا زانا الرجل بإمرأة فلا تحرم عليه هى إن اراد أن ينكحوها ولاأمها ولاابنتها لأن الله عز وجل إنما حرم بالحلال والحرام ضد الحلال.
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa seorang laki-laki apabila berzina dengan seorang perempuan maka di bolehkan baginya menikahi wanita yang berzina dengannya, ibu dan anak dari wanita yang berzina dengannya, karena menurut Imam Syafi'i Allah Ta’ala mengharamkan perempuan untuk di nikahi dengan sebab yang halal (akad nikah) tidak dengan sebab yang haram (zina).[2]


[1] Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII, halaman 162
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, juz V Bairut Libanon, Dar Al-Fikr, 1980.hal. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar