PERNIKAHAN WANITA YANG TELAH HAMIL DILUAR NIKAH
oleh : Ahmad Faruq Ardianto
Perempuan hamil
di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang
menikah. Jadi menikahi perempuan hamil di luar nikah tetap sah. Demikian
diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib,
Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل
وضعه على الأصح
Artinya:
"Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka
akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga
tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."
Anak di luar
nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan
perkawinan yang sah menurut agama dan hukum. Sedangkan
status hukum bagi anak yang dilahirkan di
luar ikatan perkawinan yang sah menurut agama adalah sebagai
berikut :
- Jika
anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka
anak itu bernasab kepada ibunya saja.
- jika
anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya
atau orang lain, di sini ada perincian:
a. Jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad
nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya.
b. Jika lahir kurang dari 6 bulan (dari akad nikah), maka
anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.
Keterangan Al-Mawardi
yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut:
فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً
وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ
أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ
الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ
الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ
إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ
وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو
حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ
الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ
Artinya, “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya,”[1]
(قال الشافعى) رحمه الله تعالى وإذا زانا
الرجل بإمرأة فلا تحرم عليه هى إن اراد أن ينكحوها ولاأمها ولاابنتها لأن الله عز
وجل إنما حرم بالحلال والحرام ضد الحلال.
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa seorang laki-laki
apabila berzina dengan seorang perempuan maka di bolehkan baginya menikahi
wanita yang berzina dengannya, ibu dan anak dari wanita yang berzina dengannya,
karena menurut Imam Syafi'i Allah Ta’ala mengharamkan perempuan untuk di nikahi
dengan sebab yang halal (akad nikah) tidak dengan sebab yang haram (zina).[2]
[1] Abul Hasan
Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994
M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII, halaman 162
[2] Abu Abdillah
Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, juz V Bairut Libanon, Dar
Al-Fikr, 1980.hal.
164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar