BERTAUBAT SECARA BENAR ISTIQOMAH
أَوَّلُ الْوَصِيَّةِ : عَلَيْكَ أَيُّهَا الْأَخُ بِالْإِسْتِقَامَةِ فِى التَّوْبَةِ
Wasiat pertama, hendaklah
saudara-saudara istiqomah dalam bertaubat
اَلتَّوْبَةُ فِى الشَّرْعِ: اَلرُّجُوْعُ عَمَّا كَانَ مَذْمُوْمًا
فِى الشَّرْعِ اِلَى مَا هُوَ مَحْمُوْدٌ فِى الشَّرْعِ
Menurut bahasa, taubat artinya kembali (ar ruju’) sedangkan manurut syara’,
taubat adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan menggantinya dengan perbuatan yang terpuji. Taubat memiliki
tahapan-tahapan, yaitu tahap permulaan dan tahapan puncak :
Pada tahap permulaan ini,
seseorang harus :
1. Bertaubat dari dosa-dosa besar
2. Bertaubat dari dosa-dosa kecil
3. Bertaubat dari perkara makruh
4. Bertaubat dari perbuatan yang kurang baik
(Khilaful aula).
5. Bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya
adalah orang baik
6. Bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk termasuk fuqoro’ di zaman ini (kekasih Tuhan)
7. Bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat
8. Dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai Allah
Pada Puncaknya, seseorang harus
:
1. Bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat) kepada Allah, walaupun dalam waktu sekejap.
Menurut ulama’ muhaqqiqun dalam ilmu thoriqoh:
أَنَّ مَنْ نَدِمَ عَلَى ذَنْبِهِ وَاعْتَرَفَ بِهِ فَقَدْ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ
Sesungguhnya seseorang yang menyesal dan mengakui telah dosa-dosa yang
dilakukannya, maka taubatnya sah (sudah benar taubatnya)
Karena
sesungguhnya Allah SWT. tidak menceritakan kisah nabi Adam alaihis salam
kecuali tentang pengakuan dan penyesalannya ketika ia terlanjur melakukan
perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Sedangkan sebagian ulama
yang menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak
mengulangi lagi merupakan pernyataan dari hasil ijtihad (istinbath),
Sebab seseorang yang benar-benar menyesali perbuatannya tentu tidak akan
mengulangi kesalahannya lagi.
Dengan taubat yang
sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan Alloh SWT (haqqulloh) akan diampuni. Begitu
pula tindakan dzalim terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang
berhubungan dengan sesama manusia
(haqqul adam) seperti yang berkaitan dengan harta benda dan harga diri. Untuk yang disebut
terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama orang yang bersangkutan belum
meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan
masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena taubat adalah sesuatu yang
sangat mendasar. Taubat adalah dasar dari segala perbuatan manusia untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin
menggapai Tuhan adalah seperti orang yang membangun rumah megah diatas tanah
labil dan goyah. Akan mudah hancur. Sebaliknya siapa yang benar taubatnya
berarti kuat pondasinya. Karena itu, sebagian ulama menyatakan :
مَنْ
أَحْكَمَ مَقَامَ التَّوْبَةِ حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى مِنْ سَائِرِ الشَّوَائِبِ
الَّتِى فِى الْأَعْمَالِ
“Siapa yang memperkuat taubatnya,
Allah akan menjaganya dari segala yang merusak kesucian amalnya”.
Maqalah tersebut
menjelaskan bahwa taubat sebanding dengan maqam zuhud dari dunia yang akan menjaga manusia dari
segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya dengan Allah dzat yang haqq.
Karena itu, bila
seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru akan menjatuhkan dan
menghancurkan maqamnya (kedudukannya disisi Allah). Apa yang telah dilakukannya
menjadi ringkih seperti bangunan rumah dengan hanya susunan bata tanpa perekat
semen.
Muhammad ibn ‘Inan
menyatakan :
من استقام فى توبته
عن المعاصى ارتقى الى التوبة من كل مالا يعنى
siapa yang benar-benar
beristiqomah dalam taubatnya, cara taubatnya maka itu akan bisa meningkatkan
kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang tidak benar cara taubatnya,
maka semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan mampu menjaga keinginan –
keinginan nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu menjaga pikiran – pikiran
kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri memerintahkan kepada
Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan lurus. Firman-Nya.
öNÉ)tGó™$$sù !$yJx. |NöÏBé& `tBur z>$s? y7yètB Ÿwur (#öqtóôÜs? 4 ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊËÈ
Maka tetaplah
kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Ali al-Khawash juga
menyatakan, siapa yang benar dan sungguh - sungguh melakukan taubat dan zuhud,
akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan perbuatannya menjadi baik. Karena
itu, seseorang yang ingin menggapai kedudukan tinggi disisi Tuhan, hendaknya
selalu meneliti dirinya, apakah ia telah melakukan hukum – hukum Tuhan? Apakah
anggota badannya; mata, kaki, tangan dan lisannya telah melaksanakan sesuatu
yang diperintahkan Allah? Bila mendapati dirinya telah melakukannya dengan
benar, maka bersyukurlah tetapi jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila
mendapati dirinya masih berlumuran dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan
menyesalinya, kemudian bersyukur kepada
Allah bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan Allah belum
memberikan adzab atau penyakit. Sebab, badan yang melakukan maksiat berhak
menerima siksaaan. Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus
meninggalkan pengaruh dunia. Allah swt sendiri tidak pernah memperhatikan dunia
sejak penciptaannya, karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,
“Cinta harta dan
kedudukan mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana air mudah menumbuhkan
sayur-sayuran”.
Imam al-Tsaury
menyatakan, seandainya seseorang beribadah dengan menjalankan semua
perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta pada dunia, maka di
akherat kelak akan di umumkan,“Inilah fulan yang sewaktu di dunia mencintai
sesuatu yang tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman itu, wajahnya seakan
terkelupas saking malunya.
Yang dimaksud cinta dunia
disini adalah menggunakan sarana harta dunia secara berlebihan, melebihi
ketentuan syariat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin pernah menyatakan, seandainya
kalian mensucikan seseorang sehingga menjadikannya sebagai al-shiddiq, tetapi
dalam hati orang tersebut masih terbetik cinta dunia, maka Allah tidak akan
memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan disisi Tuhan. Bagaimana jika harta
yang ada tersebut dipersiapkan untuk memberi nafkah pada keluarga dan
familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan ahli tarikat rusak adalah
karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia.
Melimpahnya harta untuk memberi nafkah terhadap keluarga dan famili,
sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi, hati yang telah kerasukan cinta dunia
akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia dengan Tuhan.
Sejalan dengan hal itu,
Abu Hasan As-Syadzili menyatakan, seorang murid (orang yang menempuh jalan
Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala belum benar-benar mencintai
Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya selama ia belum bisa meninggalkan
pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung
seberapa besar seseorang mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk
mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju
kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus meninggalkan dan mengosongkan hatinya
dari pengaruh dunia. Ketika masuk tarikat, yaitu ketika berbaiat kepada guru
pembimbing (mursyid), seseorang harus benar-benar telah mengosongkan hatinya
dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu jika dalam hatinya masih bersemayam
nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar. Karena itu, dalam tarikat, pertama kali
yang diajarkan dan ditanamkan pada murid haruslah sikap zuhud. Sebab, orang
yang tidak zuhud tidak akan bisa membangun sesuatu di akherat. Abdul Qadir
al-Jailani pernah berkata, “Siapa yang menghendaki akherat, ia harus zuhud
dunia. Siapa yang menghendaki Allah, ia harus zuhud akherat. Siapa yang dalam
hatinya masih ada cinta dunia; kedudukan, perkawinan, pakaian, makanan dan
sebagainya, ia bukanlah pecinta akherat. Ia masih mengikuti nafsunya”.
Sejalan dengan itu, Abu
Abdullah al-Maghribi menyatakan, orang fakir yang tidak banyak melakukan amal
masih lebih baik daripada ahli ibadah tetapi bergelimang harta. Amal yang
sedikit dari orang fakir yang tidak tersibukkan dunia bahkan lebih baik
daripada amal yang menggunung dari seseorang yang hatinya sibuk memikirkan
dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan, ibadah yang disertai cinta
dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan banyak padahal sedikit. Ia
hanya tampak banyak menurut orang yang melakukannya. Ibadah yang seperti itu
bagai raga tanpa nyawa, kosong tanpa isi. Karena itu, banyak kita saksikan
orang yang berpuasa, shalat malam dan haji, tetapi tidak pernah merasakan
manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud dalam hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud?
Zuhud adalah mengosongkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia. Namun, hal ini
bukan berarti seseorang harus mengosongkan tangannya dari menguasai harta.
Sebab, Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah melarang umatnya melakukan transaksi
dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, sebagian
sahabat dan tabiin memang banyak yang meninggalkan sama sekali dan menampakkan
ketidaksukaannya terhadap urusan dan kemewahan dunia. Hal itu dimaksudkan agar
orang kebanyakan (awam) mau dan bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir, dengan
kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, orang awam yang tidak mengerti akan
terjebak dalam masalah dunia ini; menjadi lupa terhadap Tuhan, ketika mengikuti
laku para sahabat. Sesungguhnya, orang yang sempurna (insân al-kâmil) tidak
akan tersibukkan oleh apapun kecuali Allah, walau bergelimang harta. Berbeda
dengan orang awam. Karena itu, hati – hatilah bila melihat orang besar yang
menjadi panutan hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal
itu akan dianut masyarakat tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus
diperingatkan. Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari
harta halal. Bila dari harta haram, maka ia harus “disingkirkan”. Dengan
demikian, zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya, ia tidak
bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan
duniawi sehingga lupa pada Tuhan.